Pasien Ginjal Terdampak Efisiensi Anggaran, Terkait Ketersediaan Obat Imunosupresan Berkelanjutan

GAGAL GINJAL : Pengobatan pasien gagal ginjal kronik, terutama pasien pasca transplantasi ginjal membutuhkan obat imunosupresan (takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan.-foto: ist-
JAKARTA, SUMATERAEKSPRES.ID - Kebijakan efisiensi anggaran bakal berdampak pada sektor kesehatan. Sektor kesehatan sering kali menghadapi tantangan besar, terutama dalam pembiayaan prosedur medis yang kompleks seperti transplantasi ginjal.
“Kesehatan merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu negara. Ketersediaan layanan kesehatan yang optimal tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu tetapi juga produktivitas nasional,” kata Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/A/548/2025 yang menetapkan strategi pengendalian belanja, dengan pemotongan anggaran kesehatan sebesar Rp19,6 triliun. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pasien gagal ginjal kronik khususnya pasien pasca transplantasi ginjal.
Bagi pasien gagal ginjal, transplantasi ginjal merupakan salah satu prosedur penyelamatan jiwa, sehingga hal ini merupakan harapan hidup bagi mereka. Dalam mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah Indonesia menjamin prosedur pencegahan, pemeriksaan, hingga pengobatan bagi 1,5 juta pasien gagal ginjal melalui program Jaminan Kesehatan Nasional. Terbukti dari Rp 2,9 triliun yang sudah dikeluarkan oleh Kemenkes di tahun 2024 untuk pembiayaan penyakit gagal ginjal kronik, salah satunya adalah prosedur transplantasi ginjal.
BACA JUGA:Hindari Risiko Gagal Ginjal sejak Dini, Terapkan Pola Hidup Sehat dengan Metode CERDIK
BACA JUGA:Tongseng Ginjal Sapi Kaya Omega 3, Lezat dan Baik untuk Jantung Sehat Keluarga Anda
“Namun demikian, tantangan sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan kesehatan ginjal baru pascaoperasi dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari ketersediaan obat imunosupresan (Takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan,” ujarnya.
Takrolimus mempunyai indikasi untuk pencegahan rejeksi/penolakan organ setelah transplantasi hati atau ginjal. Selain itu, indikasi Takrolimus juga untuk pengobatan rejeksi/penolakan organ hati atau ginjal pada pasien yang sudah mendapatkan obat-obat imunosupresan lainnya.
Sayangnya, beberapa bulan belakangan, perubahan merek takrolimus yang sering terjadi di RS menyebabkan variabilitas kadar obat darah pasien meningkatkan risiko penolakan akut serta memperburuk fungsi ginjal yang ditransplantasikan. “Keadaan ini memicu pertanyaan, apakah hal ini terjadi akibat dari efisiensi anggaran yang sedang digaungkan oleh Pemerintahan saat ini?” kata Tony.
Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Arreola-Guerra menunjukkan, perubahan obat merek takrolimus berkorelasi dengan peningkatan kejadian penolakan akut pada penerima transplantasi ginjal. Studi ini menemukan bahwa pasien yang mengalami lebih banyak pergantian merek takrolimus memiliki kadar obat yang lebih sering berada di bawah batas terapeutik, yang secara langsung meningkatkan risiko kehilangan graft ginjal.
BACA JUGA:Penderita Gagal Ginjal Rentan Hiperkalemia, Picu Komplikasi Hingga Kematian
BACA JUGA: Operasi Kesepuluh Transplantasi Ginjal Bisa Mandiri
“Temuan ini memperlihatkan bahwa strategi efisiensi anggaran yang mengarah pada penggantian obat non-originator tanpa kontrol ketat dapat berujung pada konsekuensi medis yang serius bagi pasien transplantasi,” ujar Tony.
Tony menegaskan berdasarkan penelitian oleh Schwartz pasien yang mengalami pergantian formulasi takrolimus mengalami variabilitas kadar obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tetap menggunakan satu formulasi yang sama. Hal ini berimplikasi pada perlunya pemantauan kadar obat yang lebih sering, yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya layanan pemeriksaan laboratorium dan intervensi medis tambahan. “Dengan adanya keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang kerap terjadi di fasilitas kesehatan, hal ini dapat memperburuk hasil klinis pasien transplantasi ginjal,” ujarnya.