Proyek Berjalan, Anggaran Belum Siap, Sidang Lanjutan Korupsi Pembangunan LRT Sumsel

PERIKSA SAKSI: Sejumlah saksi memberikan keterangan dalam lanjutan sidang dugaan korupsi kegiatan pekerjaan pembangunan prasarana Light Rail Transit (LRT) Tahun Anggaran 2016-2020 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN-foto: ardila/sumeks-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID - Sidang dugaan korupsi Kegiatan Pekerjaan Pembangunan Prasarana Light Rail Transit (LRT) tahun anggaran 2016-2020 kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Selasa (21/1). Dimana pada kasus ini ada kerugian negara sebesar Rp74 miliar.
Kasus mega proyek tersebut menjerat empat terdakwa yaitu Tukijo selaku eks Kepala Divisi II PT Waskita Karya, Ignatius Joko Herwanto eks Kepala Gedung II PT Waskita Karya, Septian Andri Purwanto eks Kepala Divisi Gedung III PT Waskita Karya, dan Bambang Hariadi Wikanta selaku Direktur Utama PT Perenjtana Djaya. Dalam sidang dipimpin Majelis Hakim Diketuai Fauzi Isra SH MH itu menghadirkan sejumlah saksi yakni Jumardi, Suranto, Taufik Hidayat, Aditya, Dimas, Agus Wahyudianto, serta Hadi Pranoto Dirut PT Trisula.
Jumardi yang menjabat sebagai PPK periode II tahun 2016 dari Kementerian Perhubungan dalam keterangan di muka sidang mengungkapkan, pengerjaan LRT dimulai pada tahun 2015. Ia sendiri menjabat selama tujuh bulan tanpa menerima dokumen dari PPK sebelumnya dan langsung terlibat dalam kontrak kerja.
Menurut Jumardi, pengerjaan proyek tersebut didanai oleh anggaran Kementerian Perhubungan, dengan Penguasa Pengguna Anggaran (PPA) adalah Direktur Prasarana Perkeretaapian. "Metode penugasan diberikan oleh Presiden kepada PT Waskita Karya. Terkait apakah Waskita Karya dapat menunjuk kontraktor lain, itu merupakan urusan internal mereka," kata dia.
BACA JUGA:Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Lahat Gelar Pemeriksaan Saksi Kasus Korupsi Pembuatan Peta Desa 2023
BACA JUGA:Bangun Karakter Siswa sejak Dini, Perlu Pengembangan Kurikulum Antikorupsi
Sedangkan untuk pengadaan barang dan jasa, terdapat beberapa metode seperti lelang, tender, dan penunjukan langsung berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Ia juga menambahkan, saat ia menjabat sudah muncul berbagai permasalahan, termasuk ketiadaan anggaran saat pelaksanaan proyek.
"Menurut saya, anggaran seharusnya sudah tersedia terlebih dahulu. Ini salah satu kendala yang sebenarnya harus direncanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumsel, yakni gubernur. Selain itu, trase juga tidak ada di Kementerian Perhubungan," ungkapnya.
Jumardi menjelaskan, usulan awal anggaran sebesar Rp12,5 triliun diajukan oleh Waskita Karya. Anggaran tersebut kemudian dievaluasi oleh konsultan yang ditunjuk oleh Kementerian Perhubungan sebelum akhirnya disepakati untuk pembangunan LRT.
Sementara itu, saksi Suranto selaku PPK menuturkan bahwa atas usulan Dirjen Ir Prasetyo, pihaknya melakukan koordinasi dengan pihak terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan TNI untuk mengatasi kendala di lapangan. "Addendum pokoknya adalah perubahan nilai kontrak dari Rp12,5 triliun menjadi Rp10,9 triliun. Biaya perencanaan dalam kontrak antara Waskita dan PPK saya tidak ingat, namun perubahan addendum terjadi karena adanya perubahan kondisi," katanya.
BACA JUGA:Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Lahat Gelar Pemeriksaan Saksi Kasus Korupsi Pembuatan Peta Desa 2023
Sunarto mengatakan, adanya beberapa kali pergantian PPK dengan alasan tertentu. "Setiap pergantian pasti ada alasan. Saya digantikan oleh Taufik Hidayat karena PPK tidak boleh menjabat lebih dari dua tahun di tempat yang sama. Masalah muncul karena adanya penyimpangan berdasarkan hasil audit BPK. Audit BPK menemukan kelebihan bayar sebesar Rp1,3 triliun, meskipun pekerjaan sudah selesai 100 persen. Hingga tahun 2024, BPKP mencatat ada anggaran sebesar Rp81 miliar yang belum dibayarkan oleh Waskita Karya," jelas Suranto.