Perkawinan Anak, Bahagia atau Bahaya?
Dina Yunita Sari, S.Tr.Stat Fungsional Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten OKU-foto: ist-
Perkawinan anak merupakan pelanggaran dasar terhadap hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak. Mulai dari hak atas pendidikan, dimana anak berhak untuk memperoleh pendidikan, bermain dan mengeksplorasi berbagai potensi dirinya. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018 menunjukkan rata-rata lama sekolah laki-laki dan perempuan usia 20-24 tahun dengan usia perkawinan pertama dibawah 18 tahun cenderung lebih rendah dibandingkan mereka yang melangsungkan perkawinan di usia 18 tahun ke atas. Tak hanya itu, data juga menunjukkan bahwa di antara laki-laki dan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan di usia anak memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang melangsungkan perkawinan di atas 18 tahun.
Perkawinan Anak dan Dampaknya Pada Kesehatan
Resiko lain yang muncul dari perkawinan anak adalah resiko kesehatan dimana kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan resiko medis baik pada ibu maupun anak. Bahkan, anak usia10-14 tahun memiliki resiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan karena anatomi tubuhnya yang belum siap. Permasalahan perkawinan anak ini juga berdampak pada generasi berikutnya.
Bayi yang dilahirkan oleh perempuan yang menikah pada usia anak memiliki resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang dilahirkan oleh perempuan berusia dua puluh tahunan. Bayi yang dilahirkan juga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk lahir prematur, memiliki berat badan lahir rendah atau bahkan kekurangan gizi. Kondisi ini terjadi karena sang ibu yang masih membutuhkan banyak gizi dalam proses pertumbuhannya harus bersaing dengan kebutuhan gizi dari janin yang dikandungnya.
BACA JUGA:Wajib Bimbingan Perkawinan Sudah Jalan
BACA JUGA:Orang Tua Melarang Pacaran, Pacar juga Menolak Diajak ‘Kawin Lari’, Siswi SMA Akhirnya Gantung Diri
Tak hanya itu, rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi juga dapat meningkatkan resiko kesehatan anak-anak. Ketidaktahuan mereka akan kesehatan reproduksi dapat menimbulkan berbagai resiko kesehatan seperti penyakit menular seksual, gangguan fungsi reproduksi dan sebagainya. Hal initentu sangat mengkhawatirkan melihat anak yang belum siap baik dari segi fisik maupun psikologis harus menghadapi berbagai resiko yang dapat mengancam nyawa.
Perkawinan Anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Hak anak lainnya yang juga terancam adalah hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan. Menurut studi Internationl Journal of Epidemiology pada tahun 2017 yang dilakukan di 34 negara menjelaskan bahwa secara global, perkawinan anak menempatkan anak perempuan pada resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam rumah tangga dibandingkan mereka yang menikah setelah usia 18 tahun.
Ada sejumlah alas an mengapa pernikahan anak dapat mengarah pada kekerasan dalam rumah tangga, diantaranya yaitu mereka cenderung rentan secara sosial dimana perempuan yang menikah pada masa kanak-kanak cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan hidup dalam tingkat ekonomi yang rendah. Faktor lainnya yaitu kesenjangan usia pasangan, ketidakseimbangan kekuasaan, isolasi sosial dan kurangnya otonomi perempuan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
BACA JUGA:Inovasi Jempol Kawan: Mempermudah Administrasi Perkawinan di Palembang
BACA JUGA:Januari 2025, Bangun TPST di TPA Sukawinatan, Mampu Kelola 150 Ton Sampah per Hari
Rekomendasi untuk Menekan Praktik Perkawinan Anak
Perkawinan anak merupakan masalah multi dimensi yang melibatkan berbagai unsure kehidupan. Oleh karenanya, penanganannya juga harus digarap bersama oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah hingga masyarakat itu sendiri. Salah satu Langkah penting yang dapat dilakukan adalah penguatan Pendidikan bagi seluruh anak. Perluas kesempatan anak untuk bisa mengenyam Pendidikan yang lebih tinggi. Berbagai keterbatasan mulai dari biaya hingga akses terhadap fasilitas Pendidikan harus segera dituntaskan agar tak ada lagi alas an untuk anak putus sekolah.
Jika perkawinan anak dapat membatasi Pendidikan anak, maka sebaliknya Pendidikan dapat menjadi pelindung untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Penguatan program wajib belajar hingga12 tahun layak dipertimbangkan untuk memberikan waktu lebih banyak bagi anak untuk belajar dan mengembangkan diri di sekolah. Dengan semakin banyaknya ilmu dan keterampilan yang dimiliki, diharapkan dapat membuka kesempatan yang lebih besar bagi anak untuk masuk ke dunia kerja ataupun Pendidikan yang lebih tinggi.