Dengarkan Keterangan 4 Saksi Dugaan Korupsi Asrama Yogyakarta

SIDANG: Para saksi memberikan keterangan seputar dugaan kasus kepemilikan asrama Yohyakarta di Pengadilan Negeri klas I Palembang.--

BACA JUGA:Promotor Judi Online Raup Jutaan Rupiah per Hari, Terungkap di Sidang PN Palembang, Ini Ceritanya!

BACA JUGA:Bantahan Terdakwa Bikin Ricuh Keluarga dan Teman Korban Tawuran, Hakim Sampai Tegur dan Usir dari Ruang Sidang

Lalu perbedaan surat yang diduga dipalsukan oleh para pengurus Yayasan Batanghari Sembilan Sumsel saat itu, yakni tidak menyebutkan adanya aset yayasan di Jogjakarta hanya di Mayor Ruslan.

Kemudian perbedaan ketiga, lanjut Kurniawan, surat jawaban dari Pemkot Palembang khususnya penanggalan surat diketik dengan menggunakan mesin tik.

“Dan yang satunya yang diduga dipalsukan itu, untuk penanggalannya dibuat dengan ketikan komputer,” sebut Kurniawan.

Dan yang keempat, surat yang asli menyebutkan tanah yang dipertanyakan oleh pengurus Yayasan Batanghari Sembilan yang ada di Mayor Ruslan itu bukan termasuk aset Pemkot Palembang.

Keterangan dari saksi Kurniawan yang pernah menjabat sebagai Kadiskominfo ini pun turut diamini oleh dua saksi lainnya yang turut hadir didalam ruang sidang.

Dua saksi lainnya yakni, Fahmi Fadillah dan Aris Satria yang mengakui memparaf notulen hasil rapat tersebut membenarkan adanya 4 perbedaan surat yang dikeluarkan Pemkot Palembang dengan surat yang dijadikan acuan dasar proses peralihan aset oleh pengurus Yayasan Batanghari Sembilan saat itu.

Sebelumnya, Tim JPU Kejati Sumsel mendakwa terdakwa Derita Kurniawati ikut merugikan negara sebesar Rp10.628.905.000 dalam kasus tersebut. "Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya," tambahnya.

Sementara JPU Kejati Sumsel Saprin, menyampaikan pihaknya akan menjawab eksepsi terdakwa secara tertulis dalam persidangan selanjutnya. "Eksepsi akan kami tanggapi secara tertulis, Yang Mulia Majelis Hakim," kata JPU di persidangan.

Selanjutnya Ketua Majelis Hakim Efiyanto SH MH, menutup persidangan dan akan kembali membuka persidangan pada 11 Juli 2024. "Sidang selanjutnya agenda replik atau jawaban dari Penuntut Umum," singkatnya, sambil mengetuk palu.

Diketahui, ada 4 orang terdakwa dalam perkara ini. Zurike Takarada selaku kuasa penjual, 2 orang oknum notaris Eti Mulyati, dan Derita Kurniati, serta Nesti Wibowo oknum ASN BPN Kota Yogyakarta. Sementara 2 tersangka lagi, AS dan MR, sudah meninggal dunia.

Dalam dakwaan JPU, para terdakwa disangkakan dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU RI No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Modus yang dilakukan para terdakwa/tersangka, Eti Mulyati dan Derita Kurniati selalu notaris diduga telah membuat perikatan jual beli dengan Zurike Takarada sebagai kuasa Yayasan Batanghari Sembilan Sumatera Selatan.

Sedangkan peran Nesti Wibowo, adanya keikutsertaan dalam hal transaksi jual beli tentang pengurusan dan penerbitan sertifikat pengalihan hak atas objek.

Padahal sejak pendirian bangunan asrama Pondok Mesudji berlokasi di Jl Puntodewo, Yogyakarta, berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Batanghari Sembilan.

Seiring berjalannya waktu, sekira tahun 2015 diduga oknum mafia tanah telah memalsukan dokumen yayasan serta sertifikat.

Dengan profesinya sebagai notaries, Eti Mulyati mengubah sekaligus membuat akta 97 dan memalsukan aset dari Yayasan Batanghari Sembilan tersebut menjadi Yayasan Batanghari Sembilan Sumsel.

Berdasarkan akta 97 tersebut, MR (almarhum) dan Zurike Takada menjual aset asrama mahasiswa Pondok Mesuji di Jl Puntodewo Yogyakarta tersebut.

Dari kuasa penjual tadi, aset yayasan dijual oleh pelaku tersebut ke orang lain. Akibatnya kerugian negara mencapai Rp10,6 miliar. (rf)


Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan