https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Kompleksitas Nilai Suci Agama Perspektif Multidisiplin

Dr H Komarudin Sassi -Cendekiawan Muslim dan Dosen IAIQI Indralaya, Ogan Ilir -

Dengan demikian, transendensi dari nilai-nilai suci, yang memang awalnya berasal dari yang jauh di atas sana (supranatural) tetap menjadi sesuatu yang berharga. Oleh karenanya, mesti diaktualisasikan bagi kualitas kehidupan di alam dunia ini dengan tidak merusak kemurnian kemutlakan-Nya atau kesucian-Nya. Karena kehendak yang Maha Suci sebagai realitas tertinggi itu terima nensi untuk kesejahteraan semua ciptaan-Nya.

Dalam mekanismenya, aktualisasi sikap nilai-nilai sacral dapat meningkatkan dampak terhadap komitmen ideologis pemeluk agama, sekaligus menjadikannya lebih dapat diandalkan sebagai sinyal disposisi kooperatif dan berkontribusi dalam menstabilkan doktrin agama. Dan semua nilai suci agama-agama dapat dicirikan dalam norma-norma yang khas dan secara kuat membentuk prinsip-prinsip eksistensial, filosofis, etis, dan teologis yang memungkinkan terciptanya tatanan kehidupan modern yang harmoni.

Dalam The Sacred CanopykaryaPeter Berger, sebuah argumen yang kuat secara intelektual dijelaskan tentang bagaimana agama bekerja. Agama membentuk kosmos sakral yang mulus di mana tindakan manusia secara bermakna ditempatkan dalam tatanan transenden. Kosmos itu ditopang oleh struktur percakapan sehari-hari yang masuk akal betapapun dianggap remeh. Berger tidak yakin bahwa agama akan mengalami kemunduran, melainkan hanya terjadi pergeseran dari homogenitas kepilihan, sebuah pergeseran yang ia yakini memiliki konsekuensi eksistensial yang besar. Sebab banyak dari apa yang kebanyakan orang masukkan ke dalam diri mereka sendiri inventarisasi praktik keagamaan sering kali mencakup doa dan ritual sehari-hari yang dirancang untuk itu memanfaatkan kekuatan suci demi kesehatan dan kesejahteraan.

Karena itu, menurut Durkheim pemisahan yang sacral dari yang profan, karena adanya batas-batas di antara keduanya yang biasa dan luar biasa, namun terlalu keropos bagi kebanyakan orang. Perlu dipahami, apa yang bersifat spiritual bukanlah bagian darinya yang transenden semata, melainkan juga dari duniawi yang diharapkan, atau yang tak terbatas. Memang pada konsepsi ini, menunjukkan adanya ketidaksepakatan antara sakral dan profan yang sangat maya itu, terhadap tindakan perilaku keberagamaan dan pengalaman beragama yang cenderung mengarah pada ketidakpastian, dan mengkonfirmasikan ketidakmampuan relative dari berbagai domain secara wholeness.

Multiperspektif Konsepsi Agama

Para ahli menunjukkan konsepsi agama mengakui sifat multidimensi agama, dalam agama memiliki serangkaian praktik dan nilai uniknya untuk pencarian yang sakral, ilahi, dan tertinggi, dan penyertaan spiritualitas yang didasarkan pada ketuhanan atau teologi, namun tidak mengecualikan spiritualitas yang berorientasi pada dunia dan berorientasi pada manusia adalah suatu keniscayaan.

Mencermati multiperspektif konsepsi agama di atas terutama konsepsi Durkheim mengandung makna bahwa agama merupakan lembaga komunal yang berorientasi pada seperangkat kepercayaan, praktik ritual, dan norma etika atau sosial yang memiliki nilai-nilai suci bagi penganutnya. Sedangkan Berthanya berpendapat bahwa agama menghubungkan manusia kepasukan spiritual di luar kendali mereka. Sementara Thoby berpendapat agama atau teologi terdiri dari studi tentang transenden atau metafisik.

TigaAspekPentingAgama-Agama

Believing yakni agama merangkul nilai-nilai yang menjadi suci dari waktu ke waktu, hal ini tergambar dari aspek 'percaya', di samping berkontribusi terhadap identitas kelompok, bangsa dan negara. 

Doing yakni dimensi ‘melakukan’ ini memiliki hubungan yang erat-kuatke 'milik' dan 'percaya'. 'Doing' menyiratkan akibat pada nilai suci, karena hakikat utama dari dimensi agama terletak pada nilai-nilai suci sebagai pertimbangan teknik yang digunakan agama untuk mengingatkan orang-orang pada tindakan (doing-action) yang harus diambil, selain aspek pengajaran, yang merupakan bagian dari percaya. Begitu juga penggunaan aspek ritual untuk membuat tindakan yang dibutuhkan dan mengarahkan tindakan yang dilakukan ke arah nilai-nilai suci.

Belonging yakni rasa memiliki kepercayaan agama, melahirkan rasa memiliki nilai-nilai suci, implikasi konstruktif dari rasa keterhubungan dengan Tuhan (supranatural) tersebut menyebar kepada sesama orang lain, dan rasa memiliki ini akan menguat dalam komunitas bangsa dan negara, sehingga menjadikan hal itu sangat penting untuk dimiliki. 

Kolaborasi Tiga Aspek 

Pemahaman tentang dimensi-dimensi dinamis agama-agama yang menyeluruh akan memberikan struktur pembahasan dan mempertajam tulisan ini. Karena tiga aspek agama model Dukheim itu dengan analisis verstehen yang mendalam memiliki hubungan erat dengan konsepsi dinamis tujuh dimensi agama Ninian Smart. Terlebih memang menurut Willander, untuk memahami agama mau tidak mau mesti mempertimbangkan dimensi-dimensinya. 

Dengan menggunakan dimensi-dimensi agama menawarkan cara untuk mempertajam konsepsi agama dengan cara yang lebih sistematis.Berikut kolaborasi interdimensional tiga aspek agama perspektif Emile Durkheim dan tujuh dimensi-dinamis agama Ninian Smart yaitu dimensi praktik dan ritual, dimensi pengalaman dan emosional, dimensi mitosatau narasi, dimensi doktrinal dan filsafat, dimensi etis dan hukum, dimensi sosial dan kelembagaan dan dimensi material. (*) 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan