Pengiriman Barang Melambat Usai FTA
JAKARTA – Keberadaan kerja sama dagang berupa Free Trade Agreement (FTA) dinilai belum optimal mendorong kinerja ekspor. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa pertumbuhan pengiriman barang ke negara mitra justru relatif lebih lambat setelah mengikuti FTA.
Salah satu alasannya, beberapa regulasi dalam negeri masih kontradiksi dengan dibuatnya perjanjian perdagangan bebas. Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani mengatakan hasil riset pihaknya terhadap perjalanan FTA selama ini, ekspor ke negara non-FTA tumbuh 4,1 persen (2012–2021) dan mitra FTA tumbuh 3 persen.
Kemudian, persentase ekspor ke negara mitra FTA naik dari 68 persen (2012) menjadi 66,3 persen (2021). impor dari negara mitra FTA tumbuh lebih tinggi, dari 78,3 persen menjadi 86,3 persen. “Padahal, FTA tadinya diharapkan agar perdagangan Indonesia bisa tumbuh positif. Kami introspeksi, banyak yang tidak siap ternyata. Tekstil, elektronik, dan alas kaki itu saja yang siap selama ini. Banyak sektor tidak siap,” ujar Hariyadi.
Dia menegaskan, Indonesia harus berfokus agar terus mengembangkan industri yang menghasilkan nilai tambah. Sebab, ekspor RI terlalu bergantung pada bahan mentah atau ekstraktif. “Kita memang meningkat, tapi yang ekstraktifnya. Tidak untuk yang bernilai tambah,” bebernya.
Hariyadi menilai, alih-alih mendorong industri nilai tambah, pemerintah justru masih mempersulit industri pengolahan untuk terus tumbuh. Dia mencontohkan, pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha saat mengimpor bahan baku. “Kita mengimpor material kena PPN, belum dagang udah kena. Sedangkan, ketika FTA itu tarifnya nol, barang mereka ke Indonesia. Jadi, kenanya di ujung produk kita,” urainya.
Executive Director Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan, FTA sejatinya hanya bicara akses pasar. Apabila suatu negara tidak bisa membaca pasar, tentu perjanjian perdagangan itu tidak akan dimanfaatkan secara optimal. “Kalau tidak ada daya saing, marketing intelijen, itu market akses tidak bisa digunakan secara optimum,” ujarnya.
Dia mengatakan, Indonesia harus mencontoh pemerintah India dan Tiongkok yang mendukung pelaku usahanya dalam mempersiapkan produk yang mempunyai daya saing tinggi. “Tidak apa-apa mereka disubsidi, tapi dalam kerangka mendukung persaingan,” ujar Yose. (jp/fad)