Petaka Tahun Baru, Inilah Sejarah Pertempuran Lima Hari Lima Malam Tahun 1947
PERANG: Puing-puing akibat peperangan lima hari lima malam di Palembang. -foto: dok-
Desember gesekan antara militer Indonesia dengan pasukan Belanda mulai terjadi, dan semakin intens menjelang pergantian tahun.
Setidaknya ada dua insiden yang benar-benar membuat marah militer Indonesia, pertama tertembaknya pemuda bernama Duntjik dan kedua iring-iringan pasukan Belanda yang melepaskan tembakan yang mengenai salah satu militer Indonesia.
Residen Palembang ketika itu M.Isa sudah berupaya meredam dengan upaya diplomasi namun Belanda tidak menghiraukan hal ini.
Tensi semakin panas. Ketika malam pergantian tahun, dan pada dini hari 1 Januari 1947 Belanda melancarkan serangan militer ke basis-basis pertahanan Republik di Indonesia di Palembang.
Salah satu alasan terjadinya serangan ini karena intimidasi yang dilakukan tentara Belanda pada malam tahun baru 1947.
Segerombolan tentara Belanda yang kelewat mabuk berkeliling kota dan melancarkan sejumlah tembakan secara serampangan baik ke pemukiman maupun ke markas-markas TRI yang mereka lewati.
Aksi ini dibalas anggota TRI dan laskar yang mengejar iring-iringan mobil belanda tersebut. Tentara Belanda kembali ke pos-posnya di Talang Semut dan Benteng Kuto Besak. Beberapa pimpinan TRI di Palembang menganggap intimidasi Belanda kali ini sudah benar-benar melecehkan TRI dan tidak bisa lagi dimaafkan. Mereka akhirnya mengambil kangkah ofensif atas kejadian ini.
Abi Hasan Said dalam bukunya Bumi Sriwijaya Bersimbah Darah, Perjuangan Rakyat Semesta Menegakkan Republik Indonesia di Ujung Pulau Sumatera (1992: 63-64), serangan pertama dimulai dengan gerakan ofensif pasukan Batalyon XXXVI Resimen XV pimpinan Kapten Makmun Murod ke beberapa kedudukan Belanda terutama di sekitar daerah Benteng Kuto Besak dan Sekanak.
Serangan ini juga dilakukan pada beberapa titik lain di Kota Palembang yang menjadi basis kedudukan Belanda. Tentara reguler tidak sendirian, rakyat Palembang juga terlibat aktif membantu mulai dari mereka yang berasal dari kesatuan laskar, para pelajar, hingga para wanita juga terlibat aktif terutama membantu logistic dengan membuka dapur umur dan membantu para korban perang.
Secara garis besar pertempuran ini tidak cukup imbang antara kedua belah pihak. Jika kita lihat dari logistik persenjataan kedua belah pihak, jelas ada perbedaan yang cukup signifikan. Tentara Belanda, dengan Brigade Gajah Merah punya pasokan persenjataan yang cukup dan canggih pada saat itu, apalagi sebelum datang ke Palembang, mereka berhasil mengacak-acak Pulau Bali.
Sedangkan kekuatan militer Indonesia di Palembang Sebagian besar merupakan lulusan dari Giyugun pada masa Jepang dan belum ada pengalaman tempur yang mumpuni.
Sisanya merupakan tentara non-reguler yang sempat mendapat pendidikan kilat sebagai tentara. Selain itu adapula unsur lain berupa laskar dari berbagai latar belakang, termasuk golongan pelajar yang meleburkan diri dalam aksi pertempuran tersebut.
Tentara Belanda juga diuntungkan oleh keberadaan kendaraan-kendaraan tempur berupa kapal motor yang dilengkapi persenjataan di perairan Sungai Musi dan juga beberapa pesawat pembom. Praktis dibeberapa lini seperti perairan (sungai) dan udara, militer Indonesia tidak bisa berbuat banyak.
Tentara Belanda memang mendominasi jalannya pertempuran baik di daerah Seberang Ilir dan Seberang Ulu. Dominasi ini pula yang memunculkan sisi biadab dari militer Belanda, mereka kerap kali tidak mematuhi berbagai aturan umum dalam sebuah perang atau pertempuran misalnya larangan untuk menembak anggota Palang Merah dan penembakan pemukiman warga sipil.
Surat kabar Berita Indonesia tanggal 8 Januari 1947 mengabarkan bahwa terjadi pelanggaran semacam ini oleh militer Belanda di Palembang. Dan korban jiwa dari rakyat sipil jelas banyak berjatuhan.