Kaya Aset
Tidak perlu ada tim rukyatulhilal: tanggal 16 Rajab tahun ini disepakati bertepatan dengan 7 Februari 2023. Maka, peringatan ulang tahun ke-100 itu dilakukan hari Selasa depan. Sangat istimewa: ketua panitia pengarah (steering committee) pun Menteri BUMN Erick Thohir. Ia memang sudah menjadi anggota Banser bersertifikat. Otomatis ia menjadi anggota NU.
Erick tidak tanpa keringat menjadi anggota organisasi pemuda di bawah NU itu. Harus lewat ujian: pakai baju doreng, merangkak di bawah kawat berduri, dan berlagak di berbagai kegiatan fisik kemiliteran lainnya. Ujian itu berat. Apalagi dilaksanakan saat Erick sangat sibuk: menjabat menteri BUMN. Ia lulus.
Bahwa HUT NU itu ditetapkan berdasar perhitungan tahun Hijriah itu lantaran di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Nahdlatul Ulama (NU) memang ditulis begitu: NU didirikan tanggal 16 Rajab 1344. Bahwa di situ dicantumkan juga tanggal dan tahun Masehi, sifatnya hanya ”bertepatan” waktunya dengan 31 Januari 1926.
Berdirinya Muhammadiyah juga ditulis di AD/ART-nya: tanggal 8 Zulhijah 1330. Disebut juga itu ”bertepatan” dengan 18 November 1912. Tapi, HUT Muhammadiyah didasarkan pada kalender Masehi. Muhammadiyah menyebut HUT-nya dengan milad. Sedangkan di NU, HUT itu lebih populer dengan istilah harlah (hari lahir).
Untung sekali perhitungan harlah NU didasarkan tahun Hijriah. Dengan demikian, pas menteri BUMN-nya Erick Thohir. Pengusaha papan atas Indonesia itu lagi jadi menteri bergengsi. Atau jangan-jangan lebih beruntung kalau didasarkan tahun Masehi: siapa tahu di tahun 2026 nanti Erick sudah menjabat wakil presiden RI.
Salah satu keistimewaan Harlah Ke-100 NU di Sidoarjo nanti adalah ini: tampilnya 12.000 Banser dalam satu atraksi yang koreografinya diciptakan Denny Malik. Anda lebih tahu siapa ia. Saya bisa membayangkan bagaimana Erick, sebagai salah seorang anggota Banser, menitikkan air liur ketika melihat atraksi itu nanti.
Saya pun kembali membaca AD/ART NU dan Muhammadiyah. Rasanya, AD/ART NU lebih unggul: setidaknya dari segi panjangnya. Panjang sekali. Terdiri atas 330 halaman. Pembukaannya saja 42 halaman: yang pakai tulisan Arab sebanyak 24 halaman, yang terjemahannya 18 halaman. Mungkin inilah AD/ART organisasi terpanjang di dunia.
Di mukadimah itu dimulai dengan satu kalimat dalam bahasa Arab yang menyatakan penghormatan kepada KH Hasyim Asy’ari. Beliau ulama besar, pendiri NU, dan rais akbar pertama.
Setelah itu, dibuka dengan tulisan Arab Bismillahirrahmaanirrahim.
Alinea pertama pembukaan AD/ART NU itu mengutip ayat seperti yang biasa kita dengar dalam khotbah Jumat: ”Alhamdulillahilladzi anzala...”. Alinea-alinea berikutnya berupa kutipan ayat-ayat Al-Quran. Sebanyak 34 ayat disertakan di pembukaan AD/ART NU itu.
Semua kalimat dalam tulisan dan bahasa Arab itu diterjemahkan di halaman-halaman berikutnya. AD/ART Muhammadiyah hanya 76 halaman. Pasal pembukaannya hanya 2 halaman. AD/ART Muhammadiyah itu dibuat seperti susunan Al-Quran, setidaknya, pembukaannya sama: Surah Al-Fatihah. Lalu, diikuti tiga doa: “Rodlitu billahi rabba...”, ”Wal takun minkum...”, dan ”Baldatun toyyibatun...”.
Dua organisasi besar Islam di Indonesia itu sama-sama berumur 100 tahun. Lebih tua daripada Republik Indonesia. Bahkan, organisasi Islam lainnya, Al-Irsyad, juga sangat tua: didirikan tahun 1914. Di Surabaya Al-Irsyad memiliki rumah sakit baru yang sangat modern. Sedang Persatuan Islam (Persis) berdiri tahun 1923.
Tentu Anda sudah tahu: NU dilahirkan di Surabaya. Di Jalan Bubutan. Inilah gerakan untuk menjaga ajaran ahlussunnah wal jamaah berdasar pendapat empat mazhab besar yang diakui di dunia Islam. Sedang Muhammadiyah awalnya adalah gerakan pemurnian ajaran Islam. Salah satu langkah pertamanya: membetulkan arah kiblat di Yogyakarta.
Gerakan itu memberikan penilaian bahwa Masjid Agung Keraton Yogyakarta tidak menghadap kiblat yang benar. Tidak menghadap ke Mekah. Maka, gerakan itu membangun masjid kecil tidak jauh dari Masjid Keraton. Kiblatnya dibuat benar secara ilmiah: pakai teknologi penunjuk arah.
Hasilnya: masjid kecil itu dihancurkan rakyat yang tidak mau disalahkan begitu saja. Saya mendapat cerita tersebut dari Dr Sulthon Amin, tokoh besar Muhammadiyah Jatim. Tentu Muhammadiyah juga melarang ziarah kubur, membaca qunut dalam salat Subuh, melakukan tahlilan, dan banyak lagi yang dianggap bid’ah (tidak diajarkan Nabi). Sedang di NU ada pendapat tidak semua bid’ah itu dlalalah. Ada bid’ah yang hasanah. Ada bid’ah baik.
Kini perbedaan seperti itu tidak ada lagi. Kalaupun ada, tidak jadi persoalan. Yang NU sudah banyak yang salat pakai celana panjang. Yang Muhammadiyah sudah pakai sarung.
Kini NU juga sudah sadar akan banyaknya aset organisasi yang masih atas nama perseorangan. Di Muhammadiyah dulunya juga ada. Tapi, sekarang sudah tertib. Di NU gerakan menertibkan aset organisasi seperti itu masih jadi persoalan besar. Yang dihadapi adalah kiai-kiai di akar rumput.
Ketua umum PBNU periode lalu, KH Said Aqil Siroj, sudah mulai melangkah. Sudah cukup jauh. Bahkan, sejak periode Said Aqil itu, semua perguruan tinggi yang dibangun NU sudah harus langsung atas nama organisasi. Sekarang sudah ada 27 universitas resmi NU. Yang sedang dibangun masih banyak. Termasuk yang sangat besar di Yogyakarta. Yang dibantu sepenuhnya oleh Presiden Jokowi. Setidaknya, kalau semua itu sudah selesai, NU punya 53 universitas.
Di Kristen sebenarnya juga sama saja. Begitu banyak aset yang masih atas nama pendeta atau keluarga mereka. Saya kenal seorang aktivis gereja yang belakangan ini pekerjaannya keliling Indonesia: mengurus aset gereja yang masih di tangan perseorangan. Di Kristen, sama: sulitnya juga bukan main. Makan hati. Makan perasaan. Belum tentu juga berhasil. Di Katolik tidak ada masalah seperti itu.
Dalam hal aset, Muhammadiyah terlihat jauh lebih besar. Padahal, kalau semua lembaga pendidikan milik orang NU jadi aset NU, pastilah NU jauh lebih besar. Di Harlah Ke-100 NU ini kesadaran yang lebih baru seharusnya muncul: bagaimana menginjeksikan virus ”menjadi kaya itu juga mulia” tanpa kebal terhadap ”zuhud itu lebih dekat ke Pencipta”. Lihatlah: siapa ketua panitianya. (*)