https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Barang Enak

 

               DUA barang enak yang dicampur menjadi satu harusnya menjadi sangat enak. Tidak begitu kalau yang dicampur itu soto enak dengan tembakau enak. Atau kopi enak dengan dawet enak.

               Pengurus PSSI itu mirip-mirip seperti sampuran barang-barang enak seperti itu. Soal rasa akhirnya tergantung yang dicampur dan yang mencampur. Memang praktik selama ini sangat ideal dan demokratis: Ketua Umum dipilih oleh kongres. Setelah itu wakil ketua umum pun dipilih oleh kongres. Lalu anggota Exco, 12 orang, juga dipilih oleh kongres.

               Itu mirip presiden dan wakil presiden dipilih sendiri-sendiri di pemilu. Tidak dalam satu paket. Apakah setelah terpilih nanti keduanya nanti bisa bekerja sama itu soal lain. Bahkan ibarat di pemerintahan, para menterinya pun dipilih lewat pemilu.

               Maka hasil kongres PSSI, bulan depan, adalah ibarat 14 barang enak dicampur jadi satu. Itulah pengurus PSSI hasil kongres. Maafkan, Anda belum tahu: PSSI adalah Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

               Calon ketua umum harus mendaftar dulu dan mendapat pengesahan dari satu komite. Calon wakil ketua umum juga begitu. Pun para calon anggota Exco, yang nanti akan jadi pengurus PSSI.

               Dari daftar nama yang sudah mendaftar terlihat memang banyak pilihan. Bagus semua. Bisa dibilang enak semua. Soal apakah setelah terpilih nanti, lalu dicampur nanti, bisa menghasilkan pengurus yang enak itu soal lain. Dari proses seperti itulah semua orang berharap bisa memajukan sepakbola Indonesia.

               Ditinjau dari segi ilmu manajemen, proses seperti itu sulit menghasilkan terbentuknya satu dream team di kepengurusan PSSI. Maka wajar kalau hasilnya juga seperti yang Anda sudah tahu.

               Proses tidak pernah mengkhianati hasil. Proses pembentukan pengurus seperti itu juga tidak akan mengkhianati hasil: hasil yang buruk. Aturan seperti itu tercantum dalam AD/ART PSSI. Yang disahkan oleh lembaga sepakbola dunia: FIFA. Tentu Kongres punya wewenang mengubahnya. Kalau mau. Kalau bisa.

               Presiden SBY pernah gemes melihat PSSI. Lalu mencoba turun tangan. Gagal. Terbentur mekanisme organisasi seperti itu. Pemerintah, sesuai dengan aturan FIFA, tidak boleh intervensi ke dalam organisasi sepakbola.

               Presiden Jokowi juga gemes. Tapi berhasil intervensi. Ketua umum PSSI tergusur. Dengan segala konsekuensi. Tapi tidak sampai berhasil melakukan reformasi di tubuh PSSI.

Ketua umum PSSI yang sekarang tidak perlu digusur. Beliau sudah mengundurkan diri. Bisa dengan mudah dipilih ketua umum yang baru. Juga wakil ketua umum. Dan anggota Exco.

               Pemerintah juga sudah terlihat punya calon: Eric Thohir, menteri BUMN. Ia juga orang gila sepakbola. Ia pernah sampai menjadi pemilik klub sepakbola dunia, Inter Milan.

Apakah Eric pasti terpilih? Tidak hanya bola yang bundar. Bumi manusia juga bundar. Dan kongres PSSI dilaksanakan di bumi manusia itu: tergantung pemilik suara dalam kongres.

               Sayangnya pemilik suara itu sangat bervariasi dalam hal keinginan untuk memajukan sepakbola. Pemilik suara itu adalah para ketua asosiasi sepakbola provinsi. Masing-masing punya satu suara. Total 34 suara. Klub-klub Liga juga punya satu suara. Badan-badan dalam PSSI masing-masing juga punya satu suara: misalnya badan yang mewadahi wasit. Total sekitar 80 suara.

               Komposisi hak suara seperti itu juga menjadi problem di cabang olahraga lainnya. Betapa banyak provinsi yang tidak memperhatikan pembinaan sepakbola. Anda pun tidak pernah mendengar: di provinsi mana ada kegiatan sepakbola apa. Mereka tetap punya hak suara yang sama dengan provinsi yang gila sepakbola.

               Sedang pemilik klub, manusia yang paling gila sepakbola, juga hanya punya satu suara. Gila dan tidak gila punya hak suara yang sama. Banyak yang akhirnya menyesal gila.

               Benar. Terlalu banyak suara yang dipegang oleh mereka yang kurang peduli pada sepakbola. Mereka inilah sumber pendulangan suara dalam kongres. Dengan cara apa pun.

               Harusnya prinsip meritokrasi juga berlaku di sepakbola. Siapa yang punya kontribusi terbesar mempunyai hak suara yang lebih besar. Hak suara provinsi tidak perlu dihapus. Tapi tidak boleh dominan. Terutama provinsi yang tidak serius mengurus sepakbola.

               Jelas sekali: yang paling serius memikirkan sepakbola adalah pemilik klub. Bukan hanya serius tapi sudah gila yang tidak pura-pura. Harta, waktu, dan tenaga dicurahkan habis-habisan. Tapi nasibnya ditentukan oleh mereka yang tidak serius. Tragis sekali.

               Maka, kalau prinsip meritokrasi kita pegang, baiknya anggota dengan prestasi tertinggi punya suara terbanyak. Misalkan, klub anggota Liga 1 masing-masing punya 10 hak suara. Anggota klub Liga 2 punya hak 5 suara. Klub-klub Liga 3 punya hak 2 suara. Provinsi tetap: masing-masing punya 1 suara.

               Tentu komposisi itu bisa didiskusikan. Dipilih yang paling rasional. Tapi, rasanya, model demokrasi dalam PSSI tidak akan bisa memenangkan pikiran yang paling rasional sekalipun. Maka setidaknya ada dua hal yang tidak rasional di PSSI: sulitnya terbentuk dream team dalam kepengurusan dan sulitnya merasionalkan hak suara. Bertriliun uang dibelanjakan hanya untuk mendapat status gila. (*)   https://sumateraekspres.bacakoran.co/?slug=sumatera-ekspres-24-januari-2023/

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan