Menteri ATR/BPN Dorong Pembentukan UU Administrasi Pertanahan untuk Selesaikan Tumpang Tindih Lahan
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dorong penyusunan UU Administrasi Pertanahan baru untuk mengatasi tumpang tindih lahan dan memperkuat tata kelola pertanahan nasional-IST-
SUMATERAEKSPRES.ID-Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan perlunya payung hukum baru untuk merapikan sistem administrasi pertanahan nasional.
Ia menilai persoalan tumpang tindih lahan yang terus berulang tak bisa diselesaikan hanya secara kasus per kasus.
Dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR RI di Gedung Nusantara II, Senin (24/11/2025), Nusron menyampaikan kebutuhan mendesak akan Undang-Undang Administrasi Pertanahan yang menyertakan masa transisi sebagaimana penerapan UU Pertanahan terdahulu.
“Kita memerlukan kesepakatan nasional. Harus ada UU Administrasi Pertanahan baru yang memberi waktu transisi, seperti dulu saat eigendom dan hak-hak barat diberi kesempatan mendaftar ulang,” jelas Nusron.
BACA JUGA:Menteri Nusron Targetkan Realisasi Anggaran ATR/BPN Capai 98% di Akhir 2025
BACA JUGA:ATR/BPN Jadi Instansi Terdepan dalam Pemanfaatan Tanda Tangan Elektronik
Ia menjelaskan, laporan tumpang tindih lahan yang masuk ke Kementerian ATR/BPN sebagian besar berasal dari sertipikat terbitan 1961–1997.
Karena itu, perlu ada kebijakan khusus untuk menyelesaikannya secara tuntas.
“Dalam UU baru nanti, pemegang sertipikat dari periode tersebut bisa diberi batas waktu lima sampai sepuluh tahun untuk penyelarasan. Setelah itu, tutup buku. Kalau tidak, masalahnya akan terus muncul,” tegasnya.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menilai persoalan pertanahan bukan hanya kesalahan satu lembaga, melainkan hasil tumpang tindih regulasi antar kementerian.
BACA JUGA:PPID ATR/BPN Perkuat Keterbukaan Informasi Lewat Konten Digital Informatif
BACA JUGA:Kementerian ATR/BPN Dukung Penuh Transisi Pembangunan IKN Tahap Kedua
Ia menyebut sejumlah aturan seperti UU Kehutanan, UU BUMN, hingga UU Perbendaharaan Negara menciptakan paradoks dengan prinsip UU Pokok Agraria.
“Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi persoalan struktural. DPR memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menyelesaikan benturan regulasi tersebut,” ujarnya.
