Kisah ini berawal ketika aku naik taksi online semasa covid. Otomatis kita wajib bermasker. Biasanya aku suka ngobrol dengan para sopir sekedar basa basi atau untuk melipat waktu, hingga tak terasa lama saat perjalanan.
Hari itu, hanya teman yang membersamaiku yang banyak bertanya ini itu kepada sang pengemudi. Sementara aku sedang berkonsentrasi mempersiapkan diri untuk mengisi sebuah acara. Tibalah sang pengemudi menceritakan panjang lebar mengenai anak-anak mereka. Kemudian, cerita terfokus pada salah satu putranya yang kini sudah pandai mengaji bahkan hafal beberapa juz Alquran karena dititipkannya pada pondok pesantren."Berada pada rumah, anak-anak takut sama saya, Mbak. Wajar, kan. Saya ini seorang ayah. Kalau mereka membantah, tali pinggang sayalah yang bicara," demikian katanya bangga.
BACA JUGA : Taman Silampari Jadi Tempat Favorit Ngabuburit Warga Muratara
Kalimat ini spontan mengusikku. "Sebenarnya anak-anak bisa kita akak bicara lho, Pak. Anak-anak itu terlahir cerdas. Jika Bapak dan Ibunya mau duduk sejenak, menjelaskan kekeliruan yang diperbuatnya, mereka akan lebih peka dan terasah." Aku paling tidak suka mendengar para orang tua yang mendidik anak mereka dengan ototnya. "Anak-anak yang kena didik dengan kekerasan, maka akan mempraktikkan kekerasan itu pada lingkungannya," tambahku. "Mungkin itu anak orang, Bu. Anak-anak saya justru nurut jika saya sudah marah. Apalagi jika sudah melihat saya mencabut tali pinggang," sang pengemudi mencoba berargumen.
Kategori :