Mereka tidak sempat memberikan pertolongan kepada warga, yang terlihat terbawa air. Untuk menyelamatkan diri sendiri saja, mereka sudah kesusahan. Cukup lama mereka bertahan di atas gedung tersebut.
Dia menjadi sangat sedih, ketika mengetahui kalau atasannya termasuk yang menjadi korban. Yaitu, Iptu Saopi Atmaja, selaku Komandan Kompi (Danki). "Saya sangat sedih, merasa menyesal sekali tidak bisa memberikan pertolongan," sesalnya, dengan mata berkaca-kaca.
Jurnalis Sumatera Ekspres Andri Irawan dan fotografer Sudirman yang juga berangkat ke Aceh, bertemu personel Brimob Sumsel yang selamat penempatan di Aceh. Sepulang mengantarkan bantuan pembaca Harian Sumatera Ekspres, untuk pengungsi korban tsunami Aceh.
Pertemuan itu pun terbilang tidak sengaja. Ketika itu sudah lewat waktu salat Asar. Begitu terlihat melihat drum-drum pembatas tengah jalan bertuliskan Brimob Sumsel, kami pun memutuskan mampir menumpang salat Asar.
”Komandan sedang salat Asar, silakan tunggu dulu,” ucap personel Brimob Sumsel yang berjaga. Tak disangka begitu komandannya itu keluar, ternyata sang perwira pertama itu bernama Aspin Amin. Kalau tidak salah pangkatnya saat itu AKP.
BACA JUGA:Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh: Mengingat Tragedi dan Melihat Kondisi Terkini
BACA JUGA:5 Alat Canggih Pendeteksi Tsunami: Sistem Peringatan Dini yang Menyelamatkan Nyawa, Sudah Tau?
Namanya sudah cukup familiar bagi kami. Apalagi Aspin Amin diketahui mempunyai seorang putra, bertugas di Poltabes Palembang Astef. ”Saya adik kelasnya kak Astef waktu SMA, Pak,” ucap penulis memperkenalkan diri.
Alhasil suasana pun lebih cair dan akrab. Setelah mengobrol sejenak dan menumpang salat ashar, kami pun disiapkan makanan. Diajak makan malam bersama, walaupun sebenarnya saat itu masih sore. Belum juga masuk waktu salat maghrib.
“Alangke jauh kamu ini main, peh makan dulu seadonyo,” ucap Aspin Amin mengajak makan bareng. Sempat dia memberikan wejangan, kondisi Aceh kala itu. Tak dipungkirinya, masih ada separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meski GAM juga ada banyak yang tersapu tsunami.
Setelah salat Magrib bersama, kami melanjutkan perjalanan pulang menuju Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Sebab, tiket pesawat untuk pulang dari Bandara Polonia, Medan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, sudah dibeli sebelumnya saat keberangkatan.
Untuk keberangkatan siang atau sore hari kalau tidak salah waktu itu. Sehingga kami harus mengejar perjalanan malam, agar paginya sudah sampai di Kota Medan kembali. Agar tidak terburu-buru. Karena proses pemeriksaan di bandara lebih ribet dan ketat, pada kondisi itu.
Masalah pun timbul, saat kami melintasi Kecamatan Peurelak, Kabupaten Aceh Timur. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 24.00 WIB, tengah malam. Sudirman yang mengemudikan mobil rental, merasa lelah dan mulai mengantuk.
Terlihatlah drum-drum di tengah jalan, bertuliskan Brimob Jambi. Kebetulan Sudirman berasal dari Jambi. Kami pun mampir ke sebuah warung yang masih buka, ada beberapa anggota Brimob terlihat sedang mengobrol. Niatnya sekedar untuk cuci muka, dan ngopi.
BRIMOB JAMBI : Jurnalis Sumatera Ekspres foto bersama personel Brimob Polda Jambi, yang bertugas di daerah Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, saat terjadi tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam.-foto: dok/sumeks-
Sudirman sempat mengobrol dialeg bahasa Jambi, dengan personel Brimob Jambi tersebut. Setelah menjelaskan maksud perjalanan kami, tak disangka kami justru kena marahnya. “Nak gilo kamu ini, nyari masalah. Nak nyari mati,” bentaknya.