PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Pemerintah akan mengimplementasikan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, pada tahun 2025. Namun pemerintah perlu mewaspadai beberapa dampak dari kenaikan PPN tahun depan, dari sebelumnya 11 persen.
Pemerintah juga harus mengadakan redistribusi sebagai kebijakan penyeimbang yang menekan angka inflasi atas kenaikan PPN. Para ekonom berharap, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dapat mencapai angka 5,5 hingga 6 persen.
Pengamat ekonomi Sumsel, Idham Cholid SE ME, menilai kenaikan tarif pajak serta perluasan objek dan subjek pajak dilakukan pemerintah semata-mata untuk dapat tetap menjaga keuangan pemerintah, dalam hal ini adalah APBN untuk tetap pada jalur yang benar.
Karena dalam penerimaan pemerintah, lebih dari 80 persen bersumber dari pajak. Permasalahannya saat ini adalah, akibat dari perlambatan ekonomi. “Maka penerimaan pemerintah yang bersumber dari pajak juga mengalami kesulitan untuk ditingkatkan,” ujarnya, Jumat (6/12).
Sampai dengan bulan lalu, dikatakannya hanya mencapai 76,3 persen dari target yang di tetapkan pada APBN 2024. Bahkan sampai dengan akhir tahun diperkirakan penerimaan pajak hanya sampai dengan 91,56 persen saja.
"Sehingga pemerintah perlu mencari cara agar pada tahun depan, target capaian penerimaan dari pajak dapat ditingkatkan," terang Idham, yang juga dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas MDP.
Permasalahan peningkatan PPN yang direncanakan pada tahun depan, tentunya akan berdampak terhadap perekonomian. Terutama masyarakat dengan pendapatan tetap. "Hal yang paling terdampak adalah dapat menurunkan konsumsi masyarakat sebesar 0,37 persen (berdasarkan riset yang dilakukan oleh celios),” paparnya.
Selain itu, penerapan PPN 12 persen berisiko menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp65,3 triliun. “Mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp40,68 triliun, hal ini tentunya akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia tahun depan," ulas Idham.
Sementara itu, khusus untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) yang direncanakan akan diterapkan juga, maka secara dampak akan lebih rendah. Karena pada PPnBM, hanya produk-produk tertentu saja yang dikenakan.
Dikutip dari laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dijelaskan, PPnBM adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah kepada produsen untuk menghasilkan atau mengimpor barang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
PPnBM hanya dikenakan 1 kali pada saat penyerahan barang ke produsen. Adapun barang kena pajak yang tergolong mewah yakni barang yang bukan barang kebutuhan pokok, barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, barang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi dan barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Barang-barang yang dikenakan PPnBM itu, seperti kendaraan bermotor. Kecuali untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara
Kemudian kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan sejenisnya. Selanjutnya kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga.