"Namun saat ini sudah banyak penduduk. Dan tempat ini semakin ramai, hingga untuk daerah rawa tersisa sedikit. Itupun diatasnya sudah dibangun rumah warga,” kata Tjiknung.
Jalan Tembok Baru didepan merupakan jalan Ahmad Yani menuju Plaju.
Sedangkan untuk bagian kedalam tembus ke jalan KH Azhari 9/10 Ulu. Untuk warga yang tinggal disebantaran sisa Sungai Tembok Baru sendiri ratusan.
BACA JUGA:Kecil Tapi Punya Sejarah Besar, Sungai Ketandan Ternyata jadi Saksi Bisu Peradaban Palembang
Bahkan kantor kelurahan 9/10 Ulu, juga konon katanya dibangun dipinggir Sungai.
“Masih ada sisa selokan yang cukup luas. Dulu air disitu jernih, selain tempat mancing juga tempat mandi dan bermain Ketika kami masih kanak-kanak,” aku Tjiknang.
Sedikit bercerita, menurutnya nama "Tembok Baru" berasal dari konstruksi tanggul dan tembok penahan yang dibangun di sepanjang bantaran sungai ini pada zaman kolonial Belanda.
Konstruksi ini bertujuan untuk mengatasi erosi dan banjir yang sering melanda daerah pesisir sungai.
Saat itu, Sungai Tembok Baru bukan sekadar jalur air, tetapi juga pusat aktivitas masyarakat, di mana banyak perahu nelayan, pedagang, dan pengrajin mengakses sungai untuk perdagangan lokal.
Seiring waktu, Sungai Tembok Baru mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan pembangunan yang mengubah aliran airnya.
Fenomena ini didorong oleh urbanisasi pesat, serta perubahan pola hidup masyarakat yang beralih dari kehidupan berbasis sungai ke daratan.
BACA JUGA:Sedimentasi Mengubur Sungai Durian, Namun Sejarahnya Tetap Abadi Menjadi Nama Jalan
BACA JUGA:Gunakan Limbah Palet Plastik untuk Perikanan, Permasalahan Budidaya Ikan di Sungai Gerong
Pada pertengahan abad ke-20, pemerintah daerah memutuskan untuk melakukan revitalisasi kawasan ini dan mengubah jalur sungai yang sempit menjadi lorong pejalan kaki.
Pengubahan ini bertujuan untuk memanfaatkan lahan kosong akibat pendangkalan sungai sekaligus memperbaiki aksesibilitas bagi warga setempat.