Sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat ini pemerintah terus melakukan penguatan tata kelola pemerintahan dan proses bisnis yang efektif. Melalui koordinasi dan kolaborasi antarkementerian dan lembaga.
Oleh karenanya, rekonstruksi tata kelola pemerintahan yang salah satunya melalui Revisi UU Kementerian Negara menjadi upaya dalam mendorong pemerintahan yang semakin inklusif, transparan, kontekstual, serta responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“Spirit dari perubahan dalam UU Kementerian Negara tentu memperkuat koordinasi dan kolaborasi antar kementerian/lembaga,” tegas Anas. Dia mengapresiasi berbagai pihak yang berkontribusi dalam rangkaian pembahasan Revisi UU Kementerian Negara Nomor 39 Tahun 2008 yang merupakan inisiatif DPR.
BACA JUGA:Praktisi Hukum dan Mantan Anggota DPRD Sumsel Ikut Demo Terkait Penolakan Putusan MK oleh DPR RI
BACA JUGA:Yuk Intip, Segini Dana Penambahan Diajukan Mendikbudristek Pada Komisi X DPR RI
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi merespons kritikan terhadap revisi UU Kementerian Negara, yang dinilai membuka jalan bagi kabinet gemuk Prabowo Subianto. Yakni soal Pasal 15 yang mengatur jumlah kementerian paling banyak 34, diubah menjadi tak terbatas.
"Mau kementeriannya dua boleh, mau kementeriannya 34 boleh, mau kementeriannya 50 juga boleh. Mau 100 juga boleh kayak Kabinet Dwikora. Tergantung kebutuhan presiden," katanya, di Gedung Nusantara II.
Efektivitas pemerintahan harus diperhatikan betul. Menekankan agar tidak terjadi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara satu kementerian dengan kementerian lain. "Jadi, tidak mungkin nanti satu kementerian dengan satu kementerian lainnya memiliki tupoksi yang sama, harus tetap berbeda," ujar Awiek.
Oleh karena itu, katanya, tidak perlu khawatir mengenai risiko tumpang tindih tupoksi kementerian. "Kalau ternyata tumpang tindih, tentunya presiden tidak akan menambah kementerian untuk nomenklatur yang sama,” tukasnya.