Selama tiga bulan pranikah, mereka akan mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan bimbingan perkawinan dengan materi pencegahan stunting.
Fokus utama adalah meningkatkan pemenuhan gizi Catin/Calon PUS untuk mencegah kekurangan energi kronis dan anemia, yang merupakan salah satu faktor risiko stunting.
BACA JUGA:Kick Off & MoU Mengatasi Stunting di Palembang
BACA JUGA:Bentuk Jejaring Skrining Layak Hamil-Stunting
Dalam upaya percepatan penurunan stunting di Indonesia, sejumlah indikator telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021.
Termasuk di antaranya adalah persentase ibu hamil Kurang Energi Kronik (KEK) yang mendapatkan tambahan asupan gizi, persentase ibu hamil yang mengonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet.
Selama masa kehamilan, persentase remaja putri yang mengonsumsi TTD, persentase bayi di bawah 6 bulan yang mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, persentase anak usia 6-23 bulan yang mendapatkan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
Lalu, persentase balita gizi buruk yang mendapat pelayanan tata laksana gizi buruk, persentase balita yang dipantau pertumbuhan dan perkembangannya, serta persentase balita gizi kurang yang mendapatkan tambahan asupan gizi.
Selain itu, dalam pilar kedua yaitu peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, kampanye nasional pencegahan stunting, menghentikan perilaku buang air besar sembarangan, dan melaksanakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah fokus utama.
Semua langkah ini, mulai dari pendekatan hulu hingga hilir, menunjukkan keseriusan BKKBN dan peran penting kepala desa dalam mengatasi masalah gizi yang krusial ini. Dengan upaya bersama, diharapkan penurunan stunting di Indonesia dapat menjadi sebuah kenyataan. (iol)