Sayangnya, perluasan ruang bicara ini tidak selalu diiringi dengan kedewasaan dalam berpendapat.
Kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis.
Namun, di era digital, kebebasan itu sering berubah bentuk menjadi kebisingan yang saling bertabrakan.
Timeline dipenuhi komentar emosional, opini yang dangkal, dan perdebatan tanpa dasar fakta.
Alih-alih memperkaya wacana publik, banyak percakapan digital justru memperuncing perdebatan dan menyuburkan polarisasi.
Masalah utamanya bukan terletak pada kebebasaan itu sendiri, melainkan pada tipisnya rasa tanggung jawab.
Banyak pengguna internet merasa tidak perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kata-kata yang mereka tulis. Anonimitas dan jarak layar membuat empati semakin luntur.
Ujaran kebencian, perundungan daring, serta penyebaran informasi palsu menjadi fenomena yang dianggap biasa, dan bahkan dinormalisasikan.
BACA JUGA:Pendampingan Eco-Green di SD Plus IGM: Langkah Nyata Menuju Sekolah Adiwiyata Berkelanjutan
Media sosial membawa banyak manfaat, seperti memperluas akses informasi, memungkinkan partisipasi aktif dalam kampanye politik, dan memberikan suara kepada kelompok yang sebelumnya terpingirkan.
Namun, media sosial juga membawa tantangan yang serius terhadap kebebasan berpendapat, terutama ketika tidak diatur dengan bijaksana.
Ditambah lagi dengan algoritma media sosial turut memperparah kondisi ini.
Konten yang memicu emosi lebih mudah mendapatkan pengakuan berupa likes, shares, dan views. Ruang digital pun berubah menjadi panggung kompetisi, bukan ruang dialog.
Di sisi lain, negara berada dalam posisi dilematis. Regulasi yang terlalau longgar berisiko membiarkan penyalahgunaan kebebasan, sementara regulasi yang terlalu ketat mengancam hak berekspresi.
Akibatnya, muncul ketegangan antara kebutuhan menjaga ketertiban dan perlindungan kebebasan sipil.
Namun sehebat apapun regulasi, tanggung jawab utama tetap berada di tangan individu.