Putuskan Akses Internet di Daerahnya, Jadi Cara Suku Baduy Menjaga Adat
Suku Baduy Dalam putuskan akses internet ke daerahnya.--
SUMATERAEKSPRES.ID - Belakangan ini suku Baduy Dalam ramai dibicarakan karena permintaan mereka pada pemerintah terkait pemutusan akses internet ke wilayah mereka. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun mengabulkan permintaan tersebut.
Alasan di balik permintaan ini adalah untuk melindungi masyarakat Baduy dari dampak konten negatif yang bisa diakses melalui internet.
Permintaan tersebut disampaikan dalam sebuah surat resmi yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh adat Baduy, antara lain Tangtu Tilu Jaro Tujuh, Wakil Jaro Tangtu, Tanggungan Jaro 12, Wakil Jaro Warega, dan telah disetujui oleh Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes.
Keputusan ini menciptakan banyak diskusi dan perdebatan di dalam dan di luar komunitas Baduy. Beberapa mendukung kebijakan ini sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan dan keberlanjutan budaya Suku Baduy yang kaya.
Sementara yang lain menganggapnya sebagai tindakan yang membatasi akses informasi dan pemahaman dunia luar. Dalam dunia yang semakin terhubung melalui teknologi, tindakan Suku Baduy ini memicu refleksi mendalam tentang hubungan antara teknologi, budaya, dan keberlanjutan.
Ini adalah langkah yang menegaskan komitmen mereka untuk melestarikan nilai-nilai dan tradisi mereka yang sudah ada sejak berabad-abad.
Sekarang, pertanyaan besar adalah bagaimana Suku Baduy akan beradaptasi dengan keputusan ini dan bagaimana dampaknya pada generasi muda yang tumbuh di tengah-tengah teknologi.
Keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat yang semakin terhubung, bisa menjaga dan menghormati keberagaman budaya serta kebijakan yang berbeda.
Adat yang Masih Kuat
Hal tersebut didasari pada adat istiadat yang terus mereka jaga hingga saat ini. Kehidupan sederhana adalah esensi hidup suku Baduy.
Mereka mengikuti filsafat "Sadulur Papat Kalima Pancer," yang dalam bahasa Baduy bisa diterjemahkan menjadi "saudara empat sejengkal lima pancer."
BACA JUGA:Pagelaran Wayang Kulit Lestarikan Budaya
Pancer adalah lapisan kain putih, seragam tradisional yang dikenakan oleh Baduy. Bagi mereka, kita semua adalah saudara, dan kehidupan yang harmonis adalah jalan yang harus ditempuh bersama.
Perbedaan paling mencolok antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah cara mereka berpakaian. Baduy Dalam tampil elegan dalam pakaian serba putih dan sepatu dari daun pisang yang membuat langkah mereka unik.
Sementara itu, Baduy Luar memiliki lebih banyak kebebasan dalam urusan pakaian, dan mereka membuat pakaian mereka sendiri, yang mereka sebut "kesumba," dengan warna-warna alamiah yang netral.
Suku Baduy menjalani aturan ketat dalam hal berhubungan dengan dunia luar. Mereka tidak mengizinkan wisatawan asing memasuki wilayah Baduy Dalam, dan bahkan interaksi dengan Baduy Luar dibatasi.
Semua langkah ini diambil untuk melindungi budaya mereka dari kemungkinan pengaruh luar yang bisa mengganggu harmoni sosial dan alam mereka.
Di tengah gejolak dunia yang terus berubah, suku Baduy adalah contoh yang menyegarkan tentang bagaimana mempertahankan adat dan tradisi mereka dengan tekun.
BACA JUGA:Lima Situs Diajukan Jadi Cagar Budaya
Dalam kesederhanaan mereka, mereka mengajarkan kita pentingnya nilai-nilai dasar dalam melestarikan keanekaragaman budaya dan menjaga keindahan alam kita. Mereka membuktikan bahwa dalam kehidupan yang sederhana, kita bisa menemukan kebahagiaan sejati.