Implementasi Kefitrahan Jiwa dalam Perilaku Rahmatan Lil ‘Alamin

KHUTBAH IDULFITRI 1444 H/2023 M

Dalam suasana Idulfitri yang khidmat berselimut rahmat dan kemenangan ini, marilah kita menghaturkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas curahan rahmat dan nikmat-Nya. Sehingga di hari yang cerah ini, kita dapat berkesempatan mensyiarkan dan mengikuti salat Idulfitri 1444 H / 2023 M dalam keadaan sehat walafiat, penuh gembira, bahagia dan syahdu.

Dimana sebelumnya kita telah bersama-sama berjuang yang amat melelahkan, menahan lapar dan dahaga di bawah terik sinar matahari yang menyengat, serta mengendalikan diri dan anggota tubuh kita untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang selama puasa pada bulan Ramadan ini.

Hari Raya Idulfitri yang disambut oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Dengan kumandang takbir, tahlil, dan tahmid yang menyeruak dan bergemuruh di setiap sudut kehidupan, di masjid, di surau, di lapangan, di jalan, di gunung dan di seluruh atmosfir kehidupan, menggema memenuhi seluruh angkasa raya. Itu sesungguhnya adalah wujud kemenangan dan ekspresi rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWT atas keberhasilannya menaklukkan hawa nafsu.

Juga mengembalikan fitrah (kesucian jiwa) melalui serangkaian aktivitas ibadah, amal saleh dan mujahadah selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadan yang baru saja kita lewati. Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kamu, semoga kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al-Baqarah:185).

Dalam suasana hari raya kemenangan ini, mari kita hayati kembali makna dan pesan penting kefitrahan manusia, baik sebagai ibadullah (hamba Allah) mupun sebagai khalifatullah fil ardli (khalifah di bumi).

Pertama, Idulfitri mengandung arti kembali kepada kesucian rohani atau kembali ke asal kejadian, atau kembali ke sikap keberagamaan yang benar. Makna ini mengisyaratkan bahwa setiap muslim yang merayakan Idulfitri sebenarnya dia sedang merayakan kesucian rohaninya dan menikmati sikap keberagamaan yang benar. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya dia telah mensucikan diri untuk memperoleh kebahagiaannya sendiri. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Bukankah tidak sama (antara) orang yang buta dengan orang yang melihat? Bukankah pula tidak sama gelap-gulita dengan terang- benderang? Dan bukankah juga tidak sama yang teduh dengan yang panas? (QS. Al-Fathir : 18-21).

Mari kita perhatikan, betapa Allah SWT membandingkan orang yang mensucikan dirinya dengan orang yang mengotorinya laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang berbanding gelap, laksana teduh berlawan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan.

Allah seakan hendak menyatakan bahwa manusia yang fitri itu adalah yang mau melihat persoalan masyarakatnya secara empatik, kemudian berupaya mengurainya untuk terciptanya tatanan kehidupan yang adil dan berkesejahteraan.

Ia mampu menjadi lentera di kala gelap, menjadi payung di kala panas, menjadi garam bagi kehidupan dengan berupaya menghadirkan kemaslahatan dan prestasi yang maksimal untuk peradaban manusia yang lebih baik. Mereka inilah pemilik agama yang benar, hanifiyyah wa al-samhah yang santun, toleran, dan penuh kasih sayang kepada sesama.

Kedua, disadari bahwa fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh lingkungan, karena pendidikan, karena bacaan dan tontonan, bahkan karena asupan makanan dan minuman. Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara dan terus bersemi, hendaknya manusia mengacu pada pola kehidupan yang Islami. Yaitu, pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai spiritualitas dan akhlak mulia.

Sehingga, darinya diharapkan mampu membangun insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta terampil dalam menjawab berbagai peluang dan tantangan. Dengan kembalinya kita kepada manusia yang fitrah, sehingga akan menampilkan prilaku perilaku yang rahmatan lil’alamin, yaitu perilaku yang membuat orang lain dan bahkan alam lingkungan di sekitar kita merasa nyaman dengan kehadiran kita. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi dari Abdullah bin Umar.

Maka itu puasa Ramadan diharapkan dapat membentuk pribadi seorang muslim yang sejati, seperti yang dijelaskan hadis tersebut bahwa muslim sejati yang kehadirannya benar-benar dapat melahirkan suasana nyaman dan sejuk di mana pun, kapan pun dan kepada siapapun. Terutama saat kita menjelang memasuki tahun politik, mari menjaga kerukunan, dan menghindarkan diri dari ucapan dan perbuatan atau perilaku yang dapat memperkeruh kedamaian di antara umat.

Hal ini karena kehadiran Islam untuk membawa rahmat bagi seluruh alam semesta ini, sebagaimana dijelaskan firman Allah dalam QS Al Anbiya’ ayat 107: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Untuk itu, segala kebiasaan baik yang telah kita jalankan di bulan suci Ramadan, berupa pengendalian hawa nafsu, tadabbur Al-Quran, berderma kepada sesama, mengelola emosi, peduli dan disiplin, bertutur kata yang jujur serta berbagai amal kebajikan yang lain, hendaknya tetap dirawat dan ditingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan masyarakat, terlebih di tengah disrupsi kehidupan manusia yang semakin krisis spiritualitas dan empati kemanusiaan.

Seperti kita yakini bahwa gool setting (tujuan final) disyariatkannya ibadah shiyam adalah untuk membentuk pribadi muttaqin yang memiliki sifat dan karakter seperti disinyalir Allah dalam surat Ali Imran ayat 134 - 135: “Orang-orang yang gemar berinfak, baik dalam suasana lapang maupun dalam situasi sempit, pandai meredam gejolak emosinya, suka memberi maaf, selalu beristighfar dan segera bertaubat bila melakukan dosa dan kezaliman serta tidak mengulang-ulang kemaksiatan sementara ia telah menyatakan taubat kepada Allah SWT."

Dengan menghayati pesan ayat tersebut, mari kita tegaskan kembali bahwa segala aktivitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak terjebak pada rutinitas ritual yang kering makna.  Sebaliknya, amaliyah ibadah yang kita laksanakan seharusnya mampu mengaktualisasikan maqashid (tujuan asasi) dan hikmah tasyri di balik setiap pelaksanaan ibadah. Yaitu, untuk menata dan memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan.

Sebab seluruh amal ibadah yang disyariatkan Islam, sesungguhnya oleh dan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. “Ia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan ia mendapat (siksa) dari kejahatan yang diperbuatnya. (QS. Al-Baqarah: 286). Demikian tingkatan derajat yang diperoleh manusia tergantung amaliyah, sebagaimana firman Allah di Surah Al An’am ayat 132. “Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (QS Al An’am:132)

Ramadan adalah kampus kehidupan manusia. Sukses Ramadan sesungguhnya tidak diukur pada saat sedang berlangsung, akan tetapi justru dilihat dari sebelas bulan yang akan dijalaninya ke depan.

Ketiga: adalah merupakan sunnatullaah bila dinamika kehidupan diwarnai dengan susah dan senang, datang dan hilang, peluang dan tantangan, tangis dan tawa, anugrah dan musibah yang acap kali menghiasi perjalanan hidup.  Orang bijak menyatakan, kehidupan laksana roda berputar, sekali waktu bertengger di atas, waktu lain tergilas di bawah.

Kehidupan laksana samudra yang tak pernah sepi dari deburan gelombang. Segala yang kita miliki pada hakikatnya adalah titipan dari Yang Maha Kuasa, tidak ada sesuatupun yang abadi, apalagi yang dapat disombongkan.  Dalam puasa terkandung pesan ibadah ritual dan sosial sekaligus.

Orang yang sedang melaksanakan puasa, ketika merasakan lapar dan dahaga, maka pada saat itulah mereka merasakan, betapa sulit dan pahitnya kehidupan orang-orang yang lemah dan miskin papa, supaya hatinya tergerak dan bangkit menyayangi dan menyantuni mereka. Itulah sebabnya, pada akhir Ramadan kita diwajibkan mengeluarkan zakat sebagai wujud kepedulian dan solidaritas kita untuk menghadirkan kebahagiaan kepada sesama. Suatu hari, Rasulullah SAW berpidato di atas mimbarnya, maukah kalian aku kabarkan orang yang paling jahat di antara kalian? Para sahabat pun serentak menjawab: Tentu ya Rasulullah.

"Orang yang paling jahat di antara kalian ialah orang yang kenyang sendirian, yang suka memukul (budak) yang melayani dirinya dan orang yang menolak pemberian karena keangkuhannya".

Lalu Rasulullah meneruskan pidatonya, maukah kalian kuberitahu, orang yang lebih jahat dari mereka?  Tentu ya Rasulullah. Rasulullah pun mengatakan. Yaitu, orang yang tidak mau menyelamatkan orang yang sedang tergelincir dan yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Lalu, Rasul pun meneruskan pidatonya, maukah aku beritahukan orang yang lebih jahat dari semua itu? Tentu, ya Rasulullah. Yaitu, orang yang suka membenci orang lain dan orang lain pun membenci kepada dirinya. (Kitab Bihar al-Anwar, 75: 186; al-Mukjam al Kabir, hadis nomor. 10.775).

Idulfitri adalah momentum emas untuk memperkuat solidaritas kemanusiaan kita dengan saling peduli, berbagi dan menghargai, saling merajut silaturahmi, menyapa dan memaafkan serta mengaktualisasikan nilai-nilai fitrah dalam perbuatan nyata dan perilaku mulia.

Semoga momentum Idulfitri juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak mulia, kebersamaan dan kasih sayang sejahtera dan berkeadaban di bawah naungan rida, maghfirah, dan kasih sayang Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaa'iliin. (*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan