Menyikapi Keberadaan Harta di Momen Ramadan

Oleh: Prof Dr H Duski Ibrahim MAg , Guru besar UIN Raden Fatah Palembang -FOTO: IST-
SUMATERAEKSPRES.ID - DI MOMEN Ramadan ini, marilah kita mendiskusikan tentang keberadaan harta. Apa yang dimaksud dengan harta? Secara sederhana, harta diartikan dengan sesuatu yang tabi’at manusia cenderung (ingin) kepadanya, sehingga berusaha untuk memilikinya, baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak.
Islam mengakomodir keinginan manusia terhadap harta tersebut, sekalipun terkadang mereka cenderung memiliki kecintaan yang berlebihan.
BACA JUGA:Menyambut Malam yang Agung (Lailatul qadr)
BACA JUGA:Alquran Mengajarkan Berbakti kepada Orang Tua
Hal ini, seperti dinyatakan dalam Alquran surah al-Fajr ayat 20, yang artinya: “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.”
Bagaimana kita menyikapi keberadaan harta? Islam membolehkan kita memiliki harta yang banyak sekalipun. Oleh karena itu, ia membolehkan kita melakukan berbagai bentuk usaha yang halal melalui berbagai transaksi, seperti melakukan jual-beli, termasuk jual-beli salam dan jual-beli istisna’ (indent).
Demikian juga musaqah (paroan kebun atau lahan pertanian), mukhabarah, muzara’ah, infak, sadaqah, hibah, wasiat, waris, ijarah muntahiayah bi at-tamlik (sewa yang berakhir dengan kepemilikan), kerjasama usaha, dan lain-lain.
Kendatipun demikian, Islam memberikan rambu-rambu untuk mengenal batas halal-haram. Umpamanya, untuk mendapatkan harta tidak dengan cara melakukan pencurian, penipuan finansial, perampokan, pencucian uang, penyelewengan, korupsi, manipulasi, mark up, dan lain sebagainya yang dilarang oleh syariah.
Tanpa mengikuti rambu-rambu berupa aturan-aturan kepemilikan dan pendistribusian harta menurut syariat, maka pemilik harta akan menjadi seorang yang celaka dan sama celakanya dengan pengumpat dan pencela.
Dalam Alquran surah al-Humazah, Allah Swt berfirman, yang artinya: “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.
Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak, pasti dia akan dilemparkan dalam (neraka) humthamah.
Dan tahukah kamu apakah (neraka) huthamah itu? Itulah api (azab) Allah Swt yang dinyalakan. Yang membakar sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas (diri) mereka. (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.”
Dari ayat di atas, dipahami bahwa Allah Swt memberikan ancaman kepada para pencela dan pengumpat. Pengumpat dimaksudkan adalah orang-orang yang sering mengeluarkan kata-kata keji, memburuk-burukan dan menjelek-jelekkan orang lain, yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah ghibah.
Hal yang sama, Allah Swt juga memberikan ancaman kepada orang-orang yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, tetapi tidak menafkahkan sebagiannya di jalan Allah Swt dan tidak mendistribusikannya untuk kepentingan umum atau kebutuhan sosial.