Mendidik Kejujuran dan Muraqabatullah

HIKMAH RAMADAN

Di dunia modern saat ini agaknya kejujuran suatu hal langka dan sangat mahal. Lini kehidupan jika kita telusuri lebih dominan praktik kebohongan, keculasan, manipulasi, dan dusta. Mulai dari dunia bisnis, sampai ke kancah politik. Sejak dari desa sampai ke kota. Dari konglomlarat hingga konglomerat. Tampaknya dunia tak pernah sepi dari keculasan dan kebohongan, bahkan sampai berujung isu fitnah dan kekejian.

Rasulullah saw sejak lebih dari 14 abad yang lalu telah mengingatkan kepada kita semua dalam salah satu sabdanya, yang artinya kurang lebih: ”... kejujuran itu akan membawa kepada kebajikan, dan kebajikan akan menunjukkan(jalan) ke syurga...., sedangkan kedustaan akan membawa kepada perbuatan dosa dan dosa itu menggiring ( jalan) ke neraka...” (HR Bukhari-Muslim)

Jujur dalam bahasa Arab lebih populer diebut dengan al-shidqu. Al-shidqu (benar), dapat dipahami secara sederhana benar iktikad hati, benar dalam tutur kata, benar dalam tindakan. Atau dengan kata lain persesuaian antara kata hati, ucapan lesan dengan tindak perbuatan. Jika sebaliknya, lain di mulut lain di hati, lain ucapan beda perbuatan, dalam Islam dikenal dengan istilah nifaq; orangnya dinamakan munafiq.

Salah satu ciri munafiq yang paling menonjol adalah jika berkata berdusta. Kedustaan yang sudah mendarah daging, berurat berakar, agaknya tidak begitu mudah dihilangkan dari kepribadian seseorang.

BACA JUGA : Developer Palembang Korban Pembunuhan Berantai Dukun Pengganda Uang

Momentum Ramadan inilah saatnya kita mengubah mentalitas dan kebiasaan bohong. Betapa tidak? Si Soim (orang yang puasa) ketika siang hari dengan kesadaran sendiri tidak mau berbuat macam-macam. Mereka tidak mau bergaul dengan istri yang sah, meskipun sama-sama ada di rumah dan tidak seorang pun yang tahu.

Juga seorang gadis yang sedang shaum, ia tidak mau makan roti sisa sahur, meskipun tidak dilihat orang. Lagi seorang bujang yang sedang mandi dan menyelam di Sungai Musi pada siang hari, ia sedang dalam keadaan shiam Ramadan. Ia juga tidak mau sambil menyelam minum air.

Pertanyaan yang muncul, mengapa mereka begitu tulusnya tidak mau melakukan perbuatan itu semua? Jawabannya satu, yaitu karena mereka sedang shiam. Tindakan tersebut di saat pelakunya sedang tidak puasa, dibenarkan dalam Islam. Mengapa orang mau berdusta, bohong, culas? Kenapa pejabat mau korupsi? Mengapa seseorang berani membuat kuitansi fiktif, laporan fiktif dan fiktif-fiktif yang lain? Karena mereka yakin yang dikelabui dan dibohongi tidak tahu. Seandainya toh tahu, pasti dia tidak akan berbuat demikian.

Hal ini dapat dipahami bahwa orang sering berbuat negatif, hanya karena tidak ada yang tahu, tidak dilihat orang, tidak ketahuan aparat dan sebagainya. Mereka tidak merasa diawasi, dan dimonitor oleh Allah. Padahal Allah pasti Maha tau dan Maha melihat terhadap semua apa saja yang kita lakukan (QS.50:16-18, 82:10-12).

Dan setiap perbuatan yang kita kerjakan baik atau buruk, kelak akan diperlihatkan dan akan dibalas sesuai dengan perbuatan yang pernah dilakukan sewaktu hidup di dunia, (QS. 99:6-8, 36:52, 2:286). Dengan demikian, shiam yang kita lakukan dapat mengarahkan dan mendidik pelakunya kepada tindakan jujur dan menumbuhkan kesadaran akan muraqabatullah (pengawasan Allah). Allahu a’lamu bis-shawab.(*)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan