https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Prof Maulana Yusuf, Guru Besar Teknik Pertambangan FT Unsri, Ungkap Swabakar Batu Bara Picu Pemanasan Globa

Prof Dr Ir H Maulana Yusuf MS MT-foto: ist-

SUMATERAEKSPRES.ID - Gas metana merupakan gas rumah kaca dari kegiatan penambangan batu bara. Memicu ketidakseimbangan ekosistem, mengakibatkan kerusakan lingkungan. Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Unsri, Prof Dr Ir H Maulana Yusuf MS MT telah meneliti ini. Apa temuannya?

Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) salah satu penghasil batu bara terbesar di Indonesia, selain Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Cadangan batu bara di Indonesia termasuk Sumsel sekitar 91 persen. Produksi dan penjualan batu bara meningkat sebesar 12,40 persen, dari 685,80 juta ton pada  2022 menjadi 770,82 juta ton pada 2023. 

Produksi dan penjualan batu bara tersebut masih didominasi untuk ekspor sebesar 52,77 persen, domistik 44,71 persen dan domestik market obligation (DMO) sebesar 9,22 persen. Ini sesuai Minerba One Data Indonesia tahun 2024.

Sedangkan produksi dan penjualan batu bara Sumsel meningkat sebesar 17,61 persen. Dari 90 juta ton pada 2022 menjadi 105,85 juta ton pada 2023.  Di mana 49,35 persen untuk kebutuhan ekspor, 41,88 persen dijual untuk kebutuhan domistik, dan 8,77 persen untuk kebutuhan DMO. 

BACA JUGA:Daftar Universitas dengan Jurusan Teknik Pertambangan Terbaik di Indonesia

BACA JUGA:PT Freeport Siap Menampung! Inilah 10 Jurusan Sarjana Paling Dicari BUMN Pertambangan Tersebut

Permintaan batu bara untuk ekspor dan kebutuhan domistik dari Sumsel yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tersebut akan membutuhkan temporary stockpile di area tambang. 

Temporary stockpile batu bara di area tambang merupakan salah satu tempat penimbunan batu bara lignit dan sub-bituminus. Sebelum dicampur dengan batu bara peringkat lebih tinggi untuk memperoleh kualitas batu bara yang dibutuhkan terutama oleh pasar internasional. 

"Batu bara peringkat dan kalori rendah yang tersimpan di front tambang, stockpile, dan temporary stockpile pada kegiatan penambangan terbuka dalam jangka waktu relatif lama sering menyebabkan swabakar," jelas Prof Maulana. Kata jebolan Fakultas Teknik Unsri dan ITB ini, swabakar merupakan fenomena yang sejak lama menjadi permasalahan dalam kegiatan penambangan batu bara, baik tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. 

Kasus swabakar banyak terjadi pada tambang terbuka dan tambang bawah tanah di negara-negara penghasil batu bara di dunia. Terutama pada area tambang, seperti: front tambang, dumping area, stockpile, disposal area, tunnel, dan ventilation system. 

BACA JUGA:Tahan 6 Tersangka, Potensi Kerugian Rp555 M. Kasus Dugaan Korupsi Pertambangan di Lahat

BACA JUGA:Galanggang Arang 2024: Mengungkap Sejarah Pertambangan Batubara Sawahlunto, Jadi Sorotan Kemendikbudristek

Swabakar batu bara secara intensif tersebut menimbulkan dampak negatif, seperti kerugian ekonomi, penurunan kualitas batu bara, penurunan produksi, penurunan kualitas kesehatan, dan penurunan kualitas lingkungan. Terutama dari berbagai gas polutif seperti karbon dioksida dan metana yang terpapar ke udara. Sehingga menyebabkan pemanasan global.

Menurut Prof Maulana, salah satu dampak dari emisi gas metana ini yaitu pemanasan global. Semakin banyak emisi gas metana yang terjadi di udara, maka semakin intensif pemanasan global yang terjadi. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan