KEKUASAAN ITU MEMANG MEMABUKKAN
KMS ZAINAL ABIDIN,S.H., M.H. (Alumnus Magister Hukum UNSRI dan Pengamat Politik dan Kemasyarakatan)-foto: ist-
Dalam konteks politik, hal ini menjelaskan bagaimana pelaku dinasti melakukan apa yang disebut “institutional drift” yaitu mengatur sedemikian rupa aturan atau regulasi di institusi. Ini berarti mereka mampu memengaruhi dan mengubah cara kerja institusi demokratis untuk mendukung keberlangsungan dinasti politik mereka.
Contoh praktiknya bisa dilihat dari bagaimana institusi peradilan, Mahkamah Konstitusi, memengaruhi dan mengubah aturan perundang-undangan untuk membuka jalan bagi figur tertentu untuk bisa maju di kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.Hal ini bisa terjadi akibat adanya ruang dan kuasa yang bisa digunakan oleh pihak dinasti politik.
Sebagai contoh lain yang akhir-akhir ini terjadi yaitu Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Partai Garuda terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. MA mengubah batas usia bakal calon kepala daerah, dari yang semula dihitung sejak penetapan pasangan calon, kemudian diganti dihitung sejak pelantikan calon terpilih. Prosesnya juga terbilang singkat, hanya butuh waktu tiga hari.
Putusan tersebut diduga sebagai jalan untuk meloloskan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju di Pilkada 2024.Padahal jika mengacu pada aturan lama, Kaesang tak bisa ikut kontestasi pilkada karena usianya belum genap 30 tahun saat penetapan paslon pada September 2024.
Menanggapi hal tersebut, putusan tersebut memiliki kesamaan dengan putusan MK 90 tentang batas usia capres-cawapres yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat. Kedua putusan itu sejatinya sama-sama mengotak-atik batas umur dengan menambahkan atau mengubah norma tertentu. Namun dalam perjalanannya aturan tersebut telah dianulir dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon.
Dengan demikian jelaslah bahwa politik dinasti itu rentan disalahgunakan untuk kepentingan keluarga dan golongan tertentu saja.Demi untuk melanggengkan kekuasaannya apapun dilakukan asal dapat memuluskan jalan menuju tampuk kekuasaan yang dinginkannya.
Bagaimana Menghapus dinasti politik?
Lalu bagaimana menghapus dinasti politik?Mengakhiri atau membatasi dinasti politik memerlukan kombinasi dari reformasi kebijakan, kesadaran masyarakat, dan perubahan budaya politik.
Ini bisa dimulai dari menerapkan peraturan yang membatasi anggota keluarga tertentu dari pemegang jabatan politik untuk mencalonkan diri dalam pemilihan tertentu. Misalnya, membatasi saudara, anak, atau pasangan dari pejabat yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri di posisi yang sama atau di wilayah yang sama.
Pada saat yang bersamaan, partai politik perlu mengadopsi prosedur seleksi kandidat yang lebih demokratis dan merata, sehingga mengurangi kemungkinan satu keluarga mendominasi struktur partai.
Selain itu, masyarakat harus terus sadar dan paham bahwa dinasti politik dapat berdampak buruk pada masa depan. Anggota dinasti politik jelas akan memiliki akses yang lebih baik ke sumber daya negara, seperti dukungan pemerintah, pekerjaan, atau manfaat lainnya, sementara masyarakat umum tentu akan dikesampingkan.
Pada akhirnya, dinasti politik lebih fokus pada pemeliharaan kekuasaan daripada pelayanan publik, kualitas pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur kemungkinan besar akan menurun.
Dinasti politik juga dapat mengancam pluralisme, prinsip demokratis yang menekankan pentingnya keragaman suara dan pandangan dalam pemerintahan.Jika satu keluarga atau kelompok mendominasi politik, suara-suara lain kemungkinan tersingkirkan.
Dari ulasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dinasti politik sangat buruk dan tidak baik bagi suatu negara yang menerapkan prinsip demokrasi.Sebab hanya mementingkan keluarga dan golongannya saja dalam menduduki jabatan tertentu dan melanggengkan kekuasaannya selama-lamanya. Semoga ini tidak terjadi lagi di Indonesia dan kehidupan demokrasi akan berjalan dengan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Semoga.
Penulis adalah Alumnus Magister Hukum UNSRI dan Pengamat Politik dan Kemasyarakatan