DPR Akali Putusan MK, Aturan Baru Treshold Hanya untuk Parpol Non-Parlemen
--
Ambang batas untuk mengusung calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota-wakil wali kota juga berubah. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT sampai 250 ribu jiwa, parpol atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen.
Tapi jika penduduknya 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, maka suarah sah parpol atau gabungan parpol minimal 8,5 persen. Kalau penduduk dalam DPT 500 ribu sampai 1 juta jiwa, maka persentasenya turun jadi 7,5 persen. Sedangkan jika penduduk dalam DPT lebih dari 1 juta jiwa, maka syaratnya minimal 6,5 persen.
Kemudian soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7, Baleg DPR-RI memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) dibandingkan MK.
Padahal, putusan MK No 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU. Putusan MK itu menggugurkan tafsir putusan MA sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Harusnya, berkaca dari putusan MK, batas usia calon gubernur dan calon wakil gubernur paling rendah 30 tahun serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota saat mereka ditetapkan sebagai paslon. Namun, DPR tak mau mengikuti itu, malah berpatokan pada putusan MA, syarat usia itu terhitung saat dilantik.
BACA JUGA:Harapan Al-Shinta Agar Banyak Calon Bupati Maju di Pilkada Muara Enim
BACA JUGA:Putusan MK Ubah Lanskap Politik Musi Rawas Menuju Pilkada 2024
Pengamat politik Sumsel, Bagindo Togar berikan acungan jempol terhadap MK dengan putusan terbarunya terkait syarat pencalonan. “Jika selama ini MK kita artinya mahkamah konspirasi, mahkamah keluarga. Ternyata sekarang menjadi mahkamah kita. Kita patut memberikan apresiasi kepada MK saat ini dengan putusannya. Terpenting putusan MK tidak bisa diganggu gugat, dibatalkan atau dianulir,” tegas dia.
Dengan adanya putusan itu, terlihat bagaimana konstitusi yang diutamakan. “Benar-benar putusan itu mengembalikan fitrah demokrasi dan pilkada kepada rakyat. Apalagi, menggunakan acuan angka kembali pada DPT, itu mewakili pemilih atau rakyat. Jadi dengan adanya persentase 6,5 sampai 10 persen sudah sangat baik,” katanya.
Dia menambahkan, selama ini parpol merupakan trouble maker. MK melalui putusannya membuat kemudahan dan mengembalikan fitrah demokrasi dengan baik. “Kalaupun nanti berapa pasang yang bisa maju, tidak kita persoalkan. Tapi kita keputusan MK sangat terlihat komprehensif, ada aspek keilmuan, sosiologis dan politik,” beber dia.
Selama ini, parpol seolah-olah menjadi penentu, mengatasnamakan rakyat, tapi keputusan yang diambil lebih sering kontra dengan keinginan rakyat. “Kita lihat arogansi elite parpol telah berlebihan dan cenderung melakukan kezaliman, pongah, primitif terhadap masyarakat. Dengan ini mereka tersadarkan mereka hanya sekadar wakil dari rakyat,” kata dia.
Bagindo mengingatkan, fungsi parpol merupakan representasi masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Tapi seiring perkembangan, jadi sangat superior dan dominan. “Kini MK sudah kembali jadi harapan masyarakat,” tegasnya.