https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Tak Profesional, Layak Dipecat

*Febrian : Bukan Kewenangan PN Memutus Perkara Politik

Keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari menuai komentar pedas dari kalangan pengamat.

Pengamat hukum Dr Febrian MS menyebut, majelis hakim yang menyidangkan perkara ini tidak memahami kewenangan yuridiksi pengadilan. "Sudah tepat apa yang disampaikan Prof Jimly agar Mahkamah Agung (MA) memberhentikan hakim-hakim yang menyidangkan gugatan itu,” ujar Dekan Fakultas Hukum (FH) Unsri itu, kemarin.

Menurutnya, putusan yang kontroversial itu sudah di luar kewenangan objek sengketa gugatan itu. “Putusan itu di luar nalar akal sehat. Bukan bagian  dari kompetensi dan wewenang PN. Ini politik, bukan perdata atau pidana. Jadi agak lebih pada sensasi," imbuhnya. Karena putusan belum inkracht, KPU bisa lakukan banding dan kasasi.

Putusan itu disebutnya telah membuat malu orang-orang yang mengerti hukum. “Kita malu juga dengan adanya putusan seperti itu. Kadang memang orang yang memiliki jabatan  menggunakan wewenang jabatan tersebut secara ngawur,” kata dia.

Karena itu, KPU tetap harus jalan dengan tahapan pemilu yang sudah ditetapkan. Untuk urusan majelis hakim PN ini, Komisi Yudisial (KY)  harus turun tangan. BACA JUGA : Parpol Yakin Tetap 2024

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menilai, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis kontroversial itu layak dipecat dari jabatannya.

"Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan publik,” tuturnya. Ditegaskan Jimly, hakim PN tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu.

Dia menjelaskan, pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Karena, sanksi perdata cukup dengan ganti rugi. Sementara keputusan untuk menunda pemilu merupakan kewenangan konstitusional KPU.

"Kalaupun ada sengketa tentang proses, maka yang berwenang adalah Bawaslu dan PTUN, bukan pengadilan perdata. Kalau ada sengketa tentang hasil pemilu, maka yang berwenang adalah MK," beber dia.

Karena itu, KPU didorong untuk mengajukan banding. Bila perlu hingga kasasi. "Kita tunggu sampai inkracht," tuturnya. Prof Jimly mengingatkan, perpanjangan tahapan, bisa berdampak pada penundaan tahapan pemilu yang merupakan kewenangan KPU.

Jika timbul perselisihan mengenai hal itu, menurut Prof Jimly, ada dua kemungkinan. Pertama, jika menyangkut norma aturan, maka upaya hukum harus juidicial review ke MA.

Kedua, kalau menyangkut proses administrasi tahapan, maka sengketanya mesti ke Bawaslu dan PT TUN. “Pengadilan perdata harus menahan diri tidak ikut campur urusan pemilu. Kalau masalahnya perdata, ya perdata saja," tukas dia.(kms/iol/fin/)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan