Pesona Senjang: Tradisi Lisan yang Tetap Hidup di Muba, Menghubungkan Generasi di Bumi Serasan Sekate

Kesenian Senjang: Tradisi lisan yang menyatukan masyarakat dan menyampaikan pesan melalui irama yang memikat. Foto: yudi/sumateraekspres.id--

Nama "Senjang" memiliki makna khusus karena dalam pertunjukan ini, lagu dan musik tidak saling bertemu.

 Artinya, ketika syair dinyanyikan, musik berhenti, dan ketika musik dimainkan, penyanyi diam. 

Bentuk ini serupa dengan puisi yang berbentuk pantun, sehingga lirik dalam satu bait selalu lebih dari empat baris.

Keistimewaan Senjang terletak pada kompleksitas penyajiannya.

BACA JUGA:Dinas Pendidikan Palembang Tetapkan Waktu Pembagian Rapor dan Jadwal Libur Semester Genap, Catat Tanggalnya

BACA JUGA:Menguak Sejarah Benteng Kuto Besak: Dari Simbol Kesultanan hingga Pusat Perdagangan!

Pesenjang, atau penyanyi Senjang, biasanya bernyanyi sambil menari, baik sendirian maupun berdua, dengan irama yang meski monoton, tetap mampu mengajak audiens terlibat dan terhibur.

Seiring perkembangan zaman, musik pengiring Senjang juga mengalami perubahan. 

Dahulu, Senjang diiringi oleh musik tanjidor. Dengan perkembangan musik saat ini, tanjidor sudah jarang digunakan dan digantikan oleh musik melayu atau organ tunggal.

 Perubahan ini menyesuaikan dengan selera dan perkembangan musik kontemporer.

BACA JUGA:Solusi Ampuh untuk Mengatasi Sering Lupa dalam Kehidupan Sehari-hari!

BACA JUGA:Posisi Tahi Lalat dan Maknanya, Cek Yuk, Bisa Jadi Pembawa Keberuntungan

Pada masa lalu, pesenjang sering kali menciptakan senjang secara spontan, menyesuaikan tema dengan situasi yang dihadapinya. 

Kini, keterampilan seperti itu semakin jarang. Pesenjang biasanya menyiapkan senjang jauh hari sebelumnya, dan sering kali membaca teks yang telah dipersiapkan. 

Struktur Senjang sendiri terdiri dari tiga bagian: bagian pembuka, bagian isi, dan bagian penutup yang biasanya berisi permohonan maaf dan pamitan dari pesenjang.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan