https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Menuju Sumsel Maju, Terdepan, dan Berkelanjutan di Tahun 2045

Regina Ariyanti --

Di setiap kabupaten/kota, pengembangan lahan perlu mempertimbangkan kategori-kategori seperti ‘gowithrestriction’ dan ‘no-go’. Intervensi diperlukan untuk memastikan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dapat terus berkembang tanpa merugikan daerah-daerah dengan pembangunan terbatas.

Aspek kedua, Sumatera Selatan memiliki peran penting dalam upaya nasional untuk menangani perubahan iklim. Sebagai provinsi dengan ekosistem gambut yang luas, Sumatera Selatan dapat berkontribusi pada upaya mitigasi emisi gas rumah kaca melalui perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut secara lestari.

BACA JUGA:PTBA Unit Derti Bagikan 4.523 Paket Sembako untuk Warga Ring 1 Perusahaan

BACA JUGA:Tertimpa, Sajam Bicara

Berdasarkan peta KLHK untuk status kerusakan gambut skala 1:250.000, ekosistem gambut Sumatera Selatan paling banyak masuk klasifikasi rusak ringan. Sedangkan pada kategori rusak berat, banyak terdapat di area Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) Lindung. Hal ini dapat berdampak pada terganggunya kualitas dan kuantitas air dan meningkatnya risiko kebakaran.  

Kerusakan lahan gambut menjadi salah satu penyumbang kenaikan emisi karbon di Sumatera Selatan. Kebakaran lahan gambut, yang sering terjadi, menyebabkan degradasi yang berujung pada peningkatan emisi karbon. 

Lahan gambut berperan penting dalam penyerapan karbon. Secara global, meskipun hanya mencakup 0,4 persen daratan dunia, lahan gambut yang terdegradasi mengeluarkan lebih dari lima persen emisi karbon antropogenik global. Oleh karena itu, kejadian kebakaran pada lahan gambut menyumbang lebih banyak emisi karbon ke atmosfer.  

Maka dari itu pengelolaan gambut harus menjadi prioritas, dengan memperkuat perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Upaya ini perlu mengintegrasikan upaya pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan upaya seperti ini, gambut justru menjadi aset Sumatera Selatan untuk membantu menurunkan emisi gas rumah kaca dalam upaya nasional dan global menghadapi perubahan iklim.

Aspek ketiga, pembangunan hijau tidak hanya tentang lingkungan dan perubahan iklim, tetapi juga tentang ketahanan pangan masyarakat. Sumatera Selatan perlu memastikan ketahanan pangan, terutama menghadapi perubahan iklim yang dapat mengganggu rantai pasokan makanan.

Meskipun pada level provinsi Indeks Ketahanan Pangan(IKP) Sumatera Selatan berada pada level tahan, namun jika dilihat pada level kabupaten/kota masih terdapat kesenjangan. Kesenjangan ini diakibatkan masih tingginya tingkat kemiskinan, minimnya akses air bersih dan masih tingginya angka tengkes (stunting).

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kita dapat melihat bahwa peningkatan konversi lahan menjadi lahan pertanian (sawah) di Sumsel ternyata tidak diiringi dengan peningkatan produksi; sementara itu jumlah lahan yang dapat dikembangkan semakin terbatas. Oleh karena itu optimalisasi lahan pertanian perlu didorong guna memaksimalkan hasil produksi dan meminimalkan konversi lahan. Mengoptimalkan lahan pertanian yang sudah tersedia saat ini melalui praktik budidaya pertanian yang baik menjadi salah satu strategi yang dapat dilakukan.

Aspek keempat, kesetaraan gender menjadi faktor penting dalam pembangunan hijau yang berkelanjutan. Dampak perubahan iklim akan dirasakan secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan, sehingga partisipasi penuh dari semua pihak menjadi kunci untuk mengatasinya.

Perempuan memainkan peran penting dalam pembangunan, namun sering kali lebih banyak terkena dampak negatifnya dibandingkan laki-laki. Meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan perempuan menjadi kunci untuk pembangunan yang inklusif dan tangguh.

Berbagai capaian pembangunan di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa Sumatera Selatan telah mencapai kemajuan dalam upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif. Capaian ini ditandai dengan meningkatnya capaian pembangunan makro berbasis gender/data terpilah, seperti Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG).  

Capaian IPG dan IDG di Sumatera Selatan pada kurun waktu 5 tahun terakhir bahkan termasuk yang paling tinggi di Pulau Sumatera. Membaiknya ketimpangan gender di Sumatera Selatan yang ditandai dengan menurunnya capaian indeks ketimpangan gender, meski masih di atas rata-rata Nasional, juga mengindikasikan bahwa peranan perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik di Provinsi Sumatera cenderung terus meningkat dan semakin menuju pembangunan yang setara. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan