Mau Tenang, Jauhi Debat Ini!

Ilustrasi artikel Mau Tenang, Jauhi Debat Ini-Foto:Ist-

Hikmah Meninggalkan Debat. Perlu dicatat bahwa orang yang senang berdebat akan menimbulkan dosa dan kesesatan. Kecenderungan orang yang suka berdebat adalah mengomentari setiap perkataan orang lain dari sisi lemah atau salahnya. Komentar tersebut biasanya berupa celaan dan kritik. Akibat dari komentarnya itu, orang yang berpendapat lalu berargumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Akhirnya, terjadilah perdebatan di antara keduanya. Pada umumnya, setiap perdebatan berakhir dengan keadaan yang tidak menyenangkan, terutama bagi mereka yang kalah.

Jika memang demikian, lantas bagaimanakah perasaan Anda di saat bergaul dengan orang-orang yang suka sekali membantah, mencela, mengkritik atau mengomentari setiap perkataan Anda? Apabila setiap perkataan selalu dibantah oleh orang lain, tentu perasaan Anda akan menjadi tidak enak. Bagaimana pun, orang yang suka sekali berbantahan akan menjauhkan silaturrahim. Padahal, orang yang beriman dituntut untuk senantiasa menjaga hubungan silaturrahim yang baik sahabat-sahabatnya. Oleh sebab itu, mereka pasti akan meninggalkan debat, meskipun dalam posisi benar.

Dalam bukunya yang berjudul “How to Win Friends and Influence People”, Dale Carnegie menyatakan bahwa Anda tidak bisa menang dalam sebuah debat. Sebab, jikalau kalah, Anda jelaslah kalah, tetapi jika menang, Anda juga kalah. Mengapa demikian? Apabila berhasil mematahkan semua argumentasi lawan bicara dengan telak, Anda tentu merasa menang. Tetapi bagaimana dengan lawan bicara Anda? Argumentasi yang telah mematahkan pendapat lawan bicara tentu akan menjadikannya merasa rendah, harga dirinya tercabik-cabik dan tentunya ia akan membenci kemenangan Anda. Oleh sebab itu, satu-satunya cara memperoleh manfaat sepenuhnya dari perdebatan adalah menghindarinya!

Apabila kita sadari bersama, tentu teori yang dikemukakan Rasulullah s.a.w. merupakan suatu hal yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak, jauh sebelum Dale Carnegie memproklamirkan teorinya, Rasulullah s.a.w. sudah mengemukakan teorinya yang terdapat dalam sebuah hadits berikut: “seorang hamba tidak dikatakan beriman sepenuhnya hingga meninggalkan berbohong ketika bergurau dan juga meninggalkan berdebat meskipun benar”. Berdasarkan hadits ini, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu di antara tanda-tanda keimanan seseorang adalah tidak suka berdebat. Oleh karena itu, di saat ada orang yang mencela pendapat kita, cukup dijawab dengan senyuman. Tidak perlu sampai ngotot untuk membela argumentasi kita, apalagi sampai balas mencela. Kita perlu toleran dan menghargai pendapat-pendapat yang disampaikan oleh para sahabat, sekalipun menurut persepsi kita hal tersebut keliru.

Bagaimana pun, orang yang beriman adalah mereka yang pandai melihat kelebihan dan kebaikan orang lain, pandai melihat kelemahan diri sendiri, dan kurang pandai dalam melihat kekurangan dan juga kesalahan orang lain. Ketika melihat keburukan sahabatnya, orang yang beriman cenderung berdo’a: “Semoga Allah membimbingku agar selalu berbuat baik, mengampuni sahabatku, menutupi aibnya, dan menuntunnya berbuat baik”. Sedangkan bagi orang yang masih lemah imannya, biasanya mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melihat kesalahan yang dilakukan orang lain. Selain itu juga suka mengomentari dan mengkritik atas kesalahan tersebut, sekalipun masih rendah dalam mengenali kesalahan diri sendiri. Pada umumnya, orang yang masih lemah imannya cenderung menilai keliru atas pernyataan orang lain, sementara pendapatnya dianggap sebagai yang paling benar.

Kedua tipe orang tersebut tentu saling memiliki karakter dan pandangan yang berbeda-beda, khususnya di saat menyikapi suatu persoalan yang sama. Perbedaan tersebut tentu saja bukan untuk dipertentangkan, tetapi justru dapat dijadikan sebagai ajang untuk mencari solusi yang tepat. Sikap tidak setuju terhadap suatu persoalan merupakan hal yang lumrah, sehingga tidak perlu diperdebatan. Terkait dengan hal ini, Dale Carnegie mengungkapkan beberapa saran untuk mencegah pernyataan tidak setuju agar tidak menimbulkan perdebatan, yaitu:

Sambut baik ketidaksetujuan itu. Mungkin ketidaksetujuan itu merupakan kesempatan untuk mengoreksi pendapat Anda, sebelum membuat kesalahan yang serius.

Jangan pernah percaya pada kesan pertama naluri Anda. Reaksi alami yang pertama dalam sebuah situasi yang tidak mengenakkan adalah mempertahankan diri. Hati-hati dan tenanglah, perhatikan reaksi pertama Anda. Mungkin itu merupakan bagian Anda yang terburuk.

Kendalikan kemarahan Anda. Anda bisa menilai kebesaran seseorang melalui hal-hal yang membuatnya marah.

Dengarkan dulu, beri kesempatan lawan Anda berbicara dan biarkan sampai selesai. Jangan menolak, mempertahankan diri atau bahkan berdebat karena akan mempertinggi penghalang. Berusahalah sebisa mungkin membangun jembatan pengertian.

Cari bidang-bidang kesepakatan. Jika selesai mendengarkan perkataan lawan Anda, pikirkan dulu hal-hal yang Anda setujui.

Jujurlah, carilah wilayah-wilayah di mana Anda bisa menerima kesalahan dan sampaikan. Minta maaflah atas kesalahan Anda. Hal ini akan membantu “melucuti senjata” lawan dan mengurangi sifat defensifnya.

Berjanjilah untuk memikirkan ide-ide lawan Anda dan pelajarilah dengan seksama. Boleh jadi, ide-ide lawan Anda mungkin benar. Pada tahap ini, akan jauh lebih mudah untuk memikirkan pandangan-pandangan mereka dibanding terus-menerus mempertahankan pendapat Anda, sehingga pihak lawan akan mengatakan: “kami sudah berusaha menyampaikan kepada anda, tetapi anda tidak mau mendengarkan”.

Berterimakasihlah pada lawan Anda dengan tulus akan minat-minat mereka. Siapapun yang meluangkan waktu untuk menyatakan tidak setuju dengan Anda, berarti ia berminat dalam hal-hal yang sama. Pikirkan mereka sebagai orang-orang yang benar-benar ingin menolong Anda, sehingga boleh jadi mereka akan menjadi kawan bagi Anda.

Jangan terburu-buru dalam bertindak dan berilah waktu kepada kedua belah pihak untuk memikirkan masalahnya. Sarankan agar pertemuan berikutnya dilangsungkan ketika semua fakta memungkinkan untuk bisa dibawa. Dalam mempersiapkan pertemuan tersebut, ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Munginkah semua atau bahkan sebagian dari pendapat mereka itu benar? Adakah keberatan dalam posisi atau argumentasi mereka? Lantas, apa reaksi saya, akan menyelesaikan masalah atau hanya menghasilkan frustasi? Saya akan membuat mereka jadi menjauh atau bahkan bisa menariknya lebih dekat? Apabila saya diam saja, apakah rasa tidak setuju itu akan meledak? Apakah situasi sulit ini merupakan kesempatan bagi saya?

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan