Hati-hati! Ternyata Begini Hukumnya dalam Kajian Islam, Merayakan Tahun Baru
KAJIAN ISLAM: Merayakan tahun baru Masehi oleh umat Muslim, dalam kajian hukum islam. FOTO: NET--
[Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338.
Melihat dua referensi di atas dapat disimpulkan, peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama.
Sehingga, hukumnya bagi seorang muslim boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan.
BACA JUGA:Trafik Tol Trans Sumatera Meningkat di Libur Nataru, Liburan Keluar Sumsel Nih
BACA JUGA:Amankan Nataru, Polisi Siapkan Ratusan Personel dan Metal Detector
Hukum Mengucapkan “Happy New Year”
Menjelang pergantian tahun, topik pembicaraan yang kerap mengemuka bukan hanya terkait perayaannya saja, melainkan juga seputar ucapan selamat tahun baru atau populer dengan ungkapan “Happy New Year”.
Bolehkah kita sebagai muslim turut mengucapkan selamat tahun baru kepada segenap keluarga, kerabat, ataupun kolega?
Berkenaan dengan hukum mengucapkan selamat tahun baru, salah satu pemuka mazhab Syafi’i Syekh Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) dalam kitabnya mengungkapkan:
“Imam Al-Qamuli berkata: “Aku tidak menemukan satu pun pendapat dari Ashab Asy-Syafi’i perihal ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun, dan pergantian bulan sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kebanyakan orang.
Namun Al-Hafidz Al-Mundziri pernah mengutip bahwa Syekh Al-Hafidz Abu Hasan Al-Maqdisi suatu ketika pernah ditanya tentang hal ini, lantas beliau menjawab, selalu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal tersebut.
BACA JUGA:Arus Kendaraan Mulai Padat Jelang Liburan Nataru, Kapolres Banyuasin Turun Langsung Urai Macet!
BACA JUGA:Penumpang Pesawat di Bandara SMB II Jelang Nataru Terus Meningkat, Puncaknya Capai Angka Segini!
Sehingga menurut pendapatku, ucapan selamat tersebut hukumnya adalah mubah (diperbolehkan), bukan sunah dan bukan pula bid’ah.” (Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz III, halaman 56).
Penjelasan dari Ustadz Abdul Somad