Tahun Depan, 50 Persen RSUD Bisa Kateterisasi
Pemerintah pusat tengah berupaya memperbanyak rumah sakit (RS) yang bisa melayani intervensi beberapa jenis penyakit berat. Terutama jantung, stroke, kanker dan uronefrologi. Untuk mewujudkan itu, tentu tidak bisa dilakukan pemerintah pusat sendiri.
Upaya tersebut harus mendapat dukung penuh pemerintah daerah (pemda). Salah satu yang dilakukan provinsi, kabupaten maupun kota, dengan pengembangan RSUD jejaring. Sepanjang 2022, pemerintah telah salurkan dana kepada 150 RSUD dan 25 RSUP di 34 provinsi untuk pemenuhan alat-alat kesehatan.
Utamanya yang dibutuhkan dalam penanganan penyakit prioritas. ”Akhir tahun 2022 lalu ada Rp3,55 triliun yang kita gunakan untuk memenuhi alat-alat kesehatan RS di daerah,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril. Baca juga : Gotong Royong Rapikan Desa Lewat Program Jumat Bersih
Diungkapnya, pengembangan layanan ini memang belum merata dan menyeluruh. Baru ada 24 gubernur yang mengembangkan RSUD sebagai jejaring layanan rujukan penyakit jantung, 13 provinsi melayani stroke, 12 provinsi melayani kanker, dan 7 provinsi lain menyiapkan RSUD untuk melayani uronefrologi.
Kendala utama tentu saja persoalan dana. Untuk bisa mengadakan layanan itu dibutuhkan peralatan medis yang memadai. Kemudian soal sumber daya manusia (SDM). Dalam hal ini para dokter spesialis dan subspesialis terkait.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menargetkan seluruh RSUD yang ada di semua privinsi bisa menerima rujukan pasien jantung, stroke ataupun kanker pada tahun depan (2024). "2024 semua RSUD harus punya, bisa cateter dan bisa bedah jantung terbuka," katanya.
Saat ini, tidak semua RSUD bisa melayani itu. Padahal, angka kematian akibat jantung kian meningkat. Untuk mewujudkan itu, pemerintah akan menyiapkan fasilitas layanan terlebih dahulu. "Jadi ada ruang khusus operasinya, ada spesialisnya dan lain-lain. Tahun depan, paling tidak 50 persen dari 514 kabupaten/kota harus bisa kateterisasi," imbuhnya.
Berdasarkan data, 50 ribu dari 4,8 juta bayi lahir dengan penyakit jantung bawaan. Kemudian 40 persen dari 50 ribu bayi itu harus menjalani operasi jantung terbuka dalam satu tahun. Budi meyakini langkah ini bisa menjadi solusi masalah penyakit jantung di Indonesia. Dengan demikian, angka kematian akibat penyakit jantung juga bisa ditekan.
Terkait masih minimnya dokter spesialis di Indonesia, pemerintah kata Budi juga akan mencarikan solusinya. Salah satunya dengan mengubah basis pendidikan dokter. saat ini basis pendidikan dokter merupakan universitas. Ke depan akan diubah menjadi basis pendidikan sembari bekerja di rumah sakit.
"Di kita saat ini university based konsepnya. Tidak banyak negara yang memakai konsep ini," kata Budi. Berdasarkan data Kemenkes, hingga Juli 2022, kebutuhan dokter mencapai 270 ribu orang. Yang tersedia hanya 140 ribu orang. Masih kurang 130 ribu orang untuk mencapai standar WHO, dimana 1 dokter per 1.000 penduduk. (fin/*)