Teruskan Penelitian S2, Prihatin Penderita Kusta

*Dr dr Desi Oktariana MBiomed, Raih Doktor Sains Biomedik FK Unsri

Kasus kusta di Indonesia tertinggi ketiga di dunia, setelah Brazil dan India. Dr dr Desi Oktarina MBiomed prihatin masyarakat yang jadi penderitanya.

Disertasinya tentang kusta ini mengantarkan dia jadi Doktor Sains Biomedik Universitas Sriwijaya (Unsri).

Kusta merupakan penyakit menahun. Penyebabnya infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini mengenai kulit dan saraf.

Mengakibatkan kecacatan. Dampaknya, produktivitas kerja menurun. Juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita.

"Stigma negatif terlanjur berkembang di masyarakat. Cenderung menjauhi bahkan mengasingkan penderita kusta,

termasuk keluarganya," ucap Desi, dibincangi di kampus Fakultas Kedokteran (FK) Unsri Madang, kemarin (14/6).

Saat menempuh pendidikan Strata 2 (S2) Magister Ilmu Biomedik Unsri 2019 lalu, Desi sudah melakukan penelitian tentang ini.

Nah, untuk S3 ini, dia lakukan penelitian berjudul "Analisis Pola Haplotipe Polimorfisme Promotor Gen Interleukin-10 dan Pengaruhnya Pada Kejadian Penyakit Kusta".

“Jadi ini merupakan lanjutan penelitian saat S2,” kata alumni FK Unsri angkatan 2008 ini.

Menurutnya, prevalensi penyakit kusta di seluruh dunia masih tergolong tinggi.  Terutama di Indonesia, yang termasuk salah satu daerah endemik kusta.

Tidak semua individu yang terpapar bakteri Mycobacterium leprae langsung terkena penyakit kusta.

Keterlibatan respon imun yang unik pada masing-masing individu menentukan kerentanan individu itu terkena kusta atau tidak.

Salah satu produk sistem imun yang diyakini memainkan peranan penting dalam patogenesis penyakit kusta adalah interleukin-10 (IL-10).

Interleukin-10 merupakan sitokin pengatur sistem imun (imunoregulator) yang dihasilkan oleh sel T helper 2, sel T helper 3, monosit, sel dendritik, eosinofil, sel mast, dan keratinosit. 

Respon imun utama dalam eliminasi Mycobacterium leprae adalah fagositosis oleh makrofag. Makrofag akan menelan dan menghancurkan bakteri tersebut.

Interleukin-10 memiliki efek anti-inflamasi. Bekerja pada makrofag yang aktif untuk mengakhiri respon terhadap mikroba.

Mengembalikan sistem ke keadaan istirahat setelah mikroba dihancurkan. Peningkatan regulasi IL-10 dapat berpengaruh pada penurunan aktivitas makrofag dalam membunuh bakteri.

Selain itu, IL-10 juga dapat menurunkan ekspresi molekul pengenal antigen,

yaitu MHC kelas II, dan molekul kostimulasi, yaitu molekul permukaan yang berfungsi untuk memperkuat atau melawan sinyal pengaktif awal setelah interaksinya dengan antigen/MHC.

Interleukin-10 juga terlibat dalam banyak aspek lainnya dalam imunopatogenesis kusta.

Nantinya, diharapkan hasil penelitian yang dituntaskan dalam kurun waktu dua tahun ini bisa digunakan sebagai deteksi dini.

Juga konseling bagi keluarga penderita kusta. Supaya mereka dapat mengambil tindakan preventif untuk meminimalkan risiko terkena kusta.

Selain itu, agar hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam kemunculan ide penelitian baru terkait terapi berbasis genetic.

“Tujuan akhirnya meminimalisir risiko penyakit kusta,” tandas istri dari dr Hafizzanovian ini.

Bertindak sebagai promotor dalam sidang disertasinya, Dr dr M Irsan Saleh MBiomed. Co-promotor 1, Dr dr Zen Hafy MBiomed dan Co-promotor 2, Dr dr Iche Andriyani Liberty SKM MKes.

Sedangkan penguji eksternal pada sidang disertasi tertutup beberapa waktu lalu yaitu Rita Maliza SSi MSi PhD,

dosen Biomedik Universitas Andalas (Unand) Padang. Dua penguji internal dari FK Unsri yakni Prof dr Eddy Mart Salim SpPD-KAI dan Dr dr Legiran MKes. (*/kms)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan