Ciptakan Brand Kopi Sriwijaya
*Perlu Bangun Pabrik Pengolahan Kopi
PALEMBANG–Provinsi Sumatera Selatan selama ini menjadi provinsi penghasil kopi terbesar di Indonesia.
Tahun lalu mencapai 212,4 ribu ton atau berkontribusi 26,72 persen dari total produksi kopi nasional.
Sementara Provinsi Lampung mengekor di nomor 2 dengan produksi kopi sebanyak 124,5 ribu ton, Sumatera Utara 87 ribu ton, dan Aceh 75,3 ribu ton.
Namun, Analis PSP Ahli Madya Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian tak menampik justru kopi Sumsel kurang populer, padahal banyak ragam seperti kopi Semende (Muara Enim), Dempo (Pagaralam), Besemah (Lahat), Ranau (OKU Selatan), dan Selangit (Empat Lawang).
“Namun yang populer hanya kopi Semendo di Indonesia, yang lain kurang dikenal karena belum punya brand secara nasional.
Kopi kita banyak dijual melalui Lampung dalam bentuk biji dan diolah menjadi kopi bubuk, sehingga nama kopi Sumsel hilang dan yang muncul akhirnya nama kopi Lampung,” ujarnya.
Untuk itu, kata dia, mengingat potensi komoditas kopi Sumsel yang begitu besar perlu namanya diangkat di kancah nasional bahkan internasional.
“Harus ada pabrik pengolahan kopi bubuk berskala nasional di Sumatera Selatan, sebagaimana yang sering disampaikan Gubernur Sumsel harus ada satu brand yang ditonjolkan mewakili kopi di Sumsel seperti brand Kopi Sumsel atau Kopi Sriwijaya,” tuturnya.
Saat ini di Sumatera Selatan, memang setiap kabupaten/kota berlomba membuat brand yang mengangkat daerah masing-masing, tapi sayangnya masih dalam skala home industry, dan ini tidak bisa menembus pasar nasional apalagi mancanegara.
“Potensi cita rasa kopi Sumsel cukup besar, bahkan beberapa daerah sudah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis. Ada pula yang sudah pernah memenangkan lomba cita rasa kopi tingkat internasional,” cetusnya.
Namun sayang potensi saja tidak cukup, perlu tangan tangan dingin mewujudkan mimpi kopi Sumsel go nasional bahkan internasional.
“Hal ini tidak dapat disalahkan, usaha dan kerja keras sudah dikerjakan untuk mengangkat nama kopi Sumsel namun dengan anggaran pemerintah yang terbatas dan peran sektor swasta pun jalan di tempat membuat impian itu lama terwujud,” tuturnya.
Ke depan pihaknya berharap ada investor yang berani masuk Sumsel untuk berinvestasi, dan tentu Pemerintah Sumsel akan menyambut baik dengan segala regulasinya.
Di sisi lain, lanjut Rudi, cuaca ekstrem yang terjadi selama dua tahun terakhir berpengaruh besar terhadap hasil produksi kopi.
“Saat ini hasil kopi dari para petani mengalami penurunan signifikan yang akhirnya berdampak pada harga melambung tinggi.
Ini tak hanya terjadi di Sumsel, tapi juga di dunia," terang Rudi.
Dia menyampaikan selama beberapa tahun ini Pemprov Sumsel telah memberikan bantuan terbatas pembuatan irigasi, baik itu embung maupun pipanisasi.
Hal itu salah satu upaya kembali mengerek peningkatan hasil produksi.
"Bisa juga rutin melakukan pemupukan, karena biasanya petani memang jarang memupuk kopi dan hanya mengandalkan berbuah secara alami," katanya.
Rudi menyarankan petani untuk tetap memperhatikan perawatan pohon kopi pascapanen, lantaran sangat memengaruhi produksi kopi selanjutnya.
"Tanaman kopi yang sudah tua itu juga perlu diremajakan, seperti lewat metode sambung pucuk. Dengan perawatan optimal hasil produksi kopi dari hasil sambungan bisa meningkat 3-4 kali lipat," tutupnya.
Penjual kopi di Lahat, Wawan mengatakan harga kopi saat ini mengalami kenaikan, namun produksi mengalami penurunan.
Menurutnya, harga biji kopi pada musim panen tahun 2023 mencapai Rp30-35 ribu per kilogram.
Padahal tahun sebelumnya, harga kopi hanya berkisar Rp20 ribu per kilogram. Meski begitu, harga yang cukup tinggi itu tidak seimbang dengan hasil produksi yang didapatkan.
Wawan mengungkapkan, selama dua tahun terakhir para petani dihadapkan dengan penyusutan hasil panen mencapai 600 kilogram.
"Jadi, kalau biasanya satu bidang tanah itu menghasilkan satu ton, dua tahun terakhir ini hanya menghasilkan 400 kilogram," bebernya.
Artinya harga yang tinggi pun tidak memberikan untung yang besar bagi petani.
Dia menambahkan, kemungkinan utama penurunan hasil produksi tak lepas dari cuaca ekstrem yang sedang terjadi. (yun/fad/)