Mendeteksi dan Mencegah Kecurangan di Era Digital: Strategi Melindungi Organisasi dari Ancaman Fraud
Dr Betri SE MSi Ak CA CTT, Dosen Akuntansi FEB UM Palembang-FOTO : IST-
Susanti & Betri (2023) menemukan bahwa 45% perusahaan swasta di Indonesia dalam tiga tahun terakhir pernah menghadapi ancaman fraud berbasis digital, terutama pada sistem pengadaan, aset tetap, dan persediaan barang.
Kejahatan ini sulit terdeteksi tanpa pengawasan teknologi yang memadai.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemanfaatan Audit Berbasis Teknologi mulai menjadi kebutuhan strategis.
Teknologi seperti data analytics, kecerdasan buatan (AI), dan continuous auditing menjadi alat penting dalam mendeteksi transaksi tidak biasa atau pola penyimpangan yang menyimpang dari kebiasaan normal. Albrecht et al.
(2022) menjelaskan bahwa penerapan data-driven auditing dapat meningkatkan efektivitas pendeteksian fraud hingga 55% lebih akurat dibandingkan audit berbasis sampling tradisional. Auditor kini dituntut untuk mampu membaca ribuan hingga jutaan data transaksi secara cepat dengan bantuan algoritma pendeteksi anomali.
Peningkatan pencegahan fraud melalui teknologi juga dibahas dalam penelitian Betri (2023) yang dilakukan terhadap 20 perusahaan manufaktur di Indonesia.
Studi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan pemantauan transaksi berbasis real-time memiliki kemampuan lebih besar dalam mengidentifikasi penyimpangan persediaan dan kas perusahaan dibandingkan perusahaan yang masih melakukan kontrol secara manual.
Dengan sistem terintegrasi, keputusan pengendalian dapat dilakukan lebih cepat sebelum kerugian membesar.
Namun demikian, implementasi teknologi tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh pengendalian internal yang kuat.
Sistem pengendalian internal merupakan fondasi utama dalam mencegah pelanggaran prosedur dan mendorong disiplin pelaporan keuangan.
Dalam penelitian Betri (2022) disimpulkan bahwa kebijakan pemisahan fungsi, otorisasi berlapis, rekonsiliasi berkala, serta pengawasan internal yang independen dapat mengurangi peluang terjadinya fraud hingga 40%. Pengendalian internal yang lemah ibarat memberi peluang besar bagi individu yang memiliki niat melakukan hak yang bukan miliknya.
Selain pengendalian internal, budaya organisasi memiliki peran besar dalam membentuk perilaku karyawan. Budaya yang mengedepankan kejujuran, integritas, dan etika kerja yang kuat akan menurunkan niat melakukan fraud.
Pentingnya tone at the top atau keteladanan pimpinan menjadi aspek kunci yang tidak dapat diabaikan.
Dalam penelitian Betri (2024) ditemukan bahwa pimpinan yang menunjukkan komitmen terhadap integritas melalui kebijakan transparansi, keterbukaan terhadap audit, dan hukuman tegas kepada pelaku fraud, mampu menurunkan rasionalisasi karyawan untuk berbuat curang.
Pimpinan harus menjadi contoh nyata bahwa kecurangan tidak dapat ditoleransi.
