Sumatera Ekspres | Baca Koran Sumeks Online | Koran Sumeks Hari ini | SUMATERAEKSPRES.ID - SUMATERAEKSPRES.ID Koran Sumeks Hari ini - Berita Terhangat - Berita Terbaru - Berita Online - Koran Sumatera Ekspres

https://sumateraekspres.bacakoran.co/

Mitsubishi baru

Mendeteksi dan Mencegah Kecurangan di Era Digital: Strategi Melindungi Organisasi dari Ancaman Fraud

Dr Betri SE MSi Ak CA CTT, Dosen Akuntansi FEB UM Palembang-FOTO : IST-

SUMATERAEKSPRES.ID - Kecurangan atau fraud telah menjadi tantangan serius bagi organisasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Di tengah perkembangan teknologi yang sangat pesat, perilaku tidak jujur dalam dunia keuangan, pemerintahan, maupun aktivitas bisnis semakin kompleks dan sulit terdeteksi.

BACA JUGA:Kilang Pertamina Plaju Raih Hasil Positif Surveillance Audit, Tegaskan Komitmen Tata Kelola Berintegritas

BACA JUGA:Serahkan Akses Siskeudes, Langkah Awal Audit Dana Desa

Fraud tidak hanya menimbulkan kerugian finansial yang besar, tetapi juga merusak reputasi, menurunkan kepercayaan publik, dan mengancam keberlangsungan suatu organisasi.

Dalam lima tahun terakhir, para peneliti dan praktisi audit telah memberikan perhatian khusus untuk memahami pola fraud serta mengembangkan strategi pendeteksian dan pencegahan yang lebih efektif dan relevan dengan perubahan zaman.

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Report 2020–2024, rata-rata kerugian organisasi akibat fraud mencapai 5% dari total pendapatan setiap tahun. Lebih dari 60% kecurangan baru terungkap setelah berlangsung selama lebih dari 12 bulan.

Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat celah besar dalam sistem pengendalian internal dan mekanisme audit yang seharusnya menjadi benteng utama mencegah fraud sejak awal.

Betri (2021) menegaskan bahwa fraud sering kali terjadi bukan hanya karena ada individu yang berniat jahat, tetapi karena organisasi menyediakan peluang baik melalui lemahnya pengawasan maupun kurangnya pemanfaatan teknologi dalam sistem informasi akuntansi.

Faktor penyebab fraud telah lama dijelaskan melalui teori Fraud Triangle oleh Donald Cressey yang meliputi tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).

Betri (2021) dalam penelitiannya di sektor pemerintahan menjelaskan bahwa tekanan ekonomi akibat lingkungan kerja yang tidak stabil dan tuntutan hidup menjadi pemicu utama seseorang melakukan manipulasi data anggaran.

Peluang muncul ketika organisasi tidak memiliki pemisahan tugas yang jelas, sistem audit internal lemah, dan dokumentasi transaksi mudah dimanipulasi.

Rasionalisasi muncul dari adanya pola pikir pembenaran diri seperti anggapan bahwa tindakan tersebut hanyalah meminjam uang perusahaan atau bagian dari hak yang tertunda.

Fraud Triangle kemudian berkembang menjadi Fraud Diamond yang menambahkan unsur kemampuan (capability) dari pelaku.

Dalam penelitian Betri (2022) pada perusahaan sektor swasta, ditemukan bahwa pelaku fraud umumnya memiliki akses teknologi memadai dan pemahaman mendalam terhadap celah sistem informasi, sehingga mereka dapat melakukan manipulasi secara cerdas tanpa mudah terdeteksi.

Beberapa pelaku bahkan memanfaatkan posisinya dalam organisasi sehingga mampu mengabaikan pengendalian internal yang seharusnya membatasi kejahatan tersebut.

Dalam konteks yang lebih modern, Fraud Pentagon menambahkan unsur kelima yaitu arogansi (arrogance), yaitu sikap merasa kebal terhadap hukuman sehingga pelaku bertindak berani dan tidak takut terungkap.

Perkembangan fraud di era digital telah membuat pola kejahatan semakin canggih. Bukan hanya penggelapan kas, rekayasa laporan keuangan, dan penyalahgunaan aset, tetapi juga cyber fraud seperti pencurian data, pembuatan transaksi fiktif melalui rekayasa sistem, serangan malware terhadap aplikasi perbankan, dan manipulasi biometrik untuk akses keuangan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan