Pengamat Kebijakan Publik Ingatkan Efek Domino Pengurangan TKD Bisa Sampai Shutdown, Ini Dampaknya
Drs Bagindo Togar Butar Butar - Foto: ist-
PALEMBANG, SUMATERAEKSPRES.ID – Kebijakan tak populis yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan mengurangi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dikhawatirkan akan memicu terjadi efek domino dan tak menutup kemungkinan terjadinya shutdown oleh pemerintah daerah (pemda).
Pandangan ini disampaikan pengamat kebijakan publik Sumsel dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes), Drs Bagindo Togar Butar-Butar, yang mengkhawatirkan bakal terhentinya Sebagian besar operasional pemerintahan akibat ketiadaan anggaran termasuk untuk pembangunan.
Istilah shutdown bukan berarti pemerintahan benar-benar berhenti total, melainkan terjadinya penurunan drastis dalam aktivitas dan operasional pemerintahan seperti yang saat ini berlaku di negara adidaya Amerika Serikat (AS) dibawah pimpinan Presiden Donald Trump.
"Dampak dari pengurangan TKD ini dikhawatirkan akan membuat pemerintah daerah memilih shutdown. Shutdown itu artinya kegiatan bisa berkurang atau bahkan terhenti. Operasi pembangunan bisa terganggu," sebut Bagindo yang dimintai tanggapannya terkait hal ini, kemarin (12/10).
BACA JUGA:Dana Transfer Daerah Dipangkas Menkeu Purbaya, Ini Besaran Tunjangan Sertifikasi Guru 2026 Nanti
Dikatakannya penyebab utama kondisi ini karena pemerintah pusat dinilainya terlalu ambisius menjalankan berbagai proyek strategis nasional (PSN) yang menyedot banyak anggaran.
"Ada tiga hal besar yakni proyek MBG, proyek Danantara, dan Koperasi Merah Putih. Semuanya membutuhkan dana besar. Akibatnya, dana untuk daerah dikurangi untuk membiayai proyek-proyek ambisius tersebut," sebut pengamat publik yang dikenal kerap berbicara blak-blakan terkait kebijakan pemerintah ini.
Togar menyebut langkah ini ibarat "aneksasi terhadap kepentingan daerah", di mana daerah kehilangan otonomi fiskalnya karena harus menanggung beban yang seharusnya ditanggung pusat.
Dia lantas menyoroti kebijakan yang mewajibkan pemerintah daerah membiayai gaji pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dari APBD, bukan dari APBN. "Pemerintah pusat tidak konsekuen. P3K itu seharusnya dibiayai oleh pusat, bukan dibebankan ke daerah. Ini berat sekali bagi keuangan daerah," katanya.
Lebih jauh, Togar menghitung beban tersebut bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun di satu provinsi. "Bayangkan, kalau satu daerah punya ribuan P3K, gajinya rata-rata lebih dari tiga juta rupiah. Dalam setahun, beban itu bisa mencapai ratusan miliar. Ini sangat memberatkan," ungkapnya.
BACA JUGA:Dana Transfer Umum Sumsel Rp16,65 T, Pemprov dan 7 Daerah Dapat Alokasi di Atas Rp1T
Ia menyarankan agar pemerintah daerah menunda penyesuaian gaji P3K hingga ada kejelasan dari pemerintah pusat.
