SUMSEL, SUMATERAEKSPRES.ID - Desa Ketiau salah satu dari 10 desa yang berada di Kecamatan Lubuk Keliat, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumsel. Secara geografis, desa ini terletak di pinggir aliran anak sungai yang bermuara di Sungai Ogan.
Luas wilayahnya kurang lebih 2.475 hektar. Menurut kisah yang diceritakan tokoh adat setempat, Suwarni, ada legenda Puyang Nyai Lebih atau Munyang Lebih di Desa Ketiau.
BACA JUGA:Lemang Terbang, Tradisi Unik Sedekah Bumi Puyang Burung di Desa Kertayu Muba, Ini Sejarahnya
BACA JUGA:Kesaktian Parang Puyang Sampu Rayo, Binasakan Orang Tidak Jujur
Melihat sejarahnya, anak keturunan Puyang Nyai Lebih masuk dalam garis keturunan Cek Cin yang berasal dari garis keturunan Raden Kusen.
Seorang panglima perang Kerajaan Majapahit. "Menurut legenda di masa lalu, Puyang Lebih dikenal sebagai penyebar Agama Islam yang taat. Rajin beribadah, punya jiwa menolong, berakhlak dan pribadi yang baik," ungkapnya.
Lanjut Suwarni, pemukiman Desa Ketiau dulunya sempat berpusat di pinggir sungai atau Payo Nibung. Tetapi karena banyak hewan berbisa, penduduknya pindah ke wilayah hulu sungai yang dikenal dengan nama Ketiau.
Setelah pindah ke hulu sungai, masyarakatnya makin damai dan berkecukupan. Saat itu Puyang Lebih berdiam di tepi danau atau lebak di Dusun Perhimpunan, Ketiau, Ogan Ilir. Tidak jauh dari rumahnya Puyang Lebih mendirikan sebuah Surau atau Mushola.
Asal usul nama Puyang Lebih dijuluki karena ia dikenal punya banyak kelebihan dan kesaktian. "Puyang Lebih dikenal punya kecantikan yang luar biasa.
Puyang Lebih juga suka memakan bunga bungaan, seperti melati sehingga wanginya harum. Berambut panjang, saking panjang rambutnya harus disisir oleh 2 orang," jelasnya.
Banyak cerita yang dibicarakan masyarakat setempat tentang bagaimana keseharian Puyang Lebih dahulu.
Puyang Lebih sesaat sebelum ke mushola menunaikan sholat, selalu mengisi air di depan rumahnya ke dalam gentong untuk berwudhu.
Kebiasaan ini yang sangat teringat dan sudah hafal oleh masyarakat sekitar yang secara tidak langsung melihatnya.
"Di kala Puyang Lebih selesai mencari ikan di lebak, beliau langsung memasukannya ke keruntung.
Kadang ikan-ikan itu lompat dan dibiarkan lepas, tidak diambilnya lagi. Kalau ditanya orang kenapa ikan itu dibiarkan lepas lagi, puyang menjawab ikan itu bukan rezekinya," ulas Suwarni.