Dibalik itu, Puyang Lebih dikenal hidup dengan umur cukup panjang yang mencapai 150 tahun. Kala itu, Puyang lebih masih hidup di era penjajahan Jepang.
Pada masa itu, Jepang sempat membangun lapangan terbang di desa Ketiau. Ketika pesawat Jepang akan mendarat di lapangan, selalu terlihat ada orang yang sedang duduk di landasan. Pesawat Jepang selalu dihalang dan tidak bisa mendarat.
"Menurut cerita sosok orang yang duduk di lapangan landasan itu sedang berdzikir, adalah perwujudan dari Puyang Nyai Lebih. Oleh sebab itu lapangan terbang tersebut tidak digunakan oleh Jepang," tukasnya.
Puyang Nyai Lebih di akhir hayatnya sempat mengucapkan sebuah sumpah dan sangat populer hingga kini di masyarakat setempat.
"Puyang Nyai Lebih bersumpah dan pada saat itu mengatakan bahwa semua anak cucuku sampai tujuh keturunan dimanapun berada akan terlihat lebih," kisahnya.
Puyang Nyai Lebih juga berwasiat agar seluruh anak cucunya berziarah ke makamnya. Terletak di Dusun Perhimpunan, Ketiau, Ogan Ilir. Cerita kisah dan legenda tersebut membuat makamnya hingga kini konon dikeramatkan.
Dibalik legenda Puyang Nyai Lebih ini, hingga kini Desa Ketiau terus berkembang. Pada tahun 1982, perusahaan perkebunan tebu mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat, mengubah lanskap dan mata pencaharian.
Meskipun demikian, Desa Ketiau telah melalui berbagai perubahan, termasuk kehilangan status desa tertinggal pada tahun 2007.
BACA JUGA:Seberang Ulu 2: Warisan Budaya Kampung Al-Munawar dan Potensi Ekonomi di Tepi Sungai Musi
BACA JUGA:Harapan Ketua Adat Oku Timur Untuk Bumi 1001 Puyang
Secara administratif Pabrik Cinta Manis yang mengolah tebu menjadi gula berdiri di Desa Ketiau sekitar 75 Km dari arah Selatan Kota Palembang.
Meskipun begitu, kisah Puyang Nyai Lebih tetap diingat dan menjadi cerita yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Ketiau di waktu lampau dan masa depan. (dik/fad)