Bahkan untuk mengantisipasi terjadi bottle neck, penyumbatan di jalur lalu lintas, akibat lonjakan angkut dan pengapalan itu, tahun ini TIS sudah menambah jumlah pelabuhan dari 2 menjadi 3 pelabuhan dengan 5 konveyor. Rencananya, tahun depan akan menambah 1 konveyor lagi.
Victor optimistis masa depan perusahaannya cemerlang di masa depan.
Dia menjelaskan, Indonesia sebagai negara produsen dan eksportir utama batubara termal di dunia, saat ini pasokan batubara didominasi tambang-tambang yang ada di Kalimantan. Masalahnya, biaya stripping atau pengedukan batubara di Kalimantan sudah semakin mahal lantaran usia penambangan yang sudah cukup lama. Dengan biaya pengedukan yang kian mahal, harga menjadi tidak kompetitif. “Ruang inilah yang menjadi masa depan kami.” ucap Victor, berbinar.
Optimisme Victor itu tidak berlebihan. Fakta menunjukkan, saat ini Sumatera adalah penghasil batubara terbesar ke dua di Indonesia. Dan Sumsel, di mana operasi TIS berada, adalah penyumbang terbesar dari produksi batubara di Sumatera.
Cadangan batubara di Sumsel tercatat sebanyak 9,3 miliar ton. Jumlah ini 25% dari cadangan batubara nasional yang mencapai 37,6 miliar ton. Konsentrasi tambang batubara di Sumatera Selatan berada di tiga wilayah kabupaten, yakni Muara Enim, Lahat, dan Ogan Komering Ulu. Di Muara Enim saja setidaknya ada 29 izin usaha pertambangan yang keluarkan pemerintah.
Tahun ini, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsell menargetkan produksi batubara mencapai 131 juta ton.
BACA JUGA:BNI dan Mastercard Perkenalkan Kartu Kredit BNI Titanium untuk Milenial dan Gen Z
Angka-angka itulah masa depan TIS. Ketika lumbung batubara di Kalimantan mulai menipis dan biaya produksi makin mahal, tak pelak batubara Sumsel akan dilirik pembeli.
Lantas, berapa besar TIS akan melepas sahamnya ke publik. Dengan diplomatis Suryo mengatakan, “Sesuai aturan bursa minimal kami akan melepas saham sebesar 10 persen”.