Pengamat Sosial Sumatera Selatan, Dr Muhammad Husni Thamrin MSi, mengatakan black campaign atau kampanye hitam, adalah upaya menyebarkan informasi palsu atau fitnah. Bertujuan untuk menjatuhkan reputasi kandidat atau lawan. "Kampanye ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip demokrasi yang sehat,” terang Husni Thamrin, kepada Sumatera Ekspres, Sabtu (16/11/2024).
Berbeda dengan black campaign, sementara negative campaign menurutnya sebenarnya sah selama didasarkan pada fakta yang valid. “Meski seringkali digunakan secara selektif, untuk mengungkap kelemahan atau kegagalan kandidat tertentu,” ulasnya. Per definisi, sambung Husni Thamrin, negative campaign adalah kampanye yang mengkritik kebijakan, program, atau rekam jejak lawan politik dengan menggunakan data atau fakta yang valid. “Meskipun sifatnya menyerang,” katanya.
BACA JUGA:Raja Dangdut Serukan Pilih Lucianty-Syaparuddin, Menang Pilkada Muba Hadirkan Soneta Group
Sementara itu, hoaks telah menjadi alat destruktif di tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. "Hoaks adalah informasi yang tidak benar, direkayasa, atau sengaja dipalsukan untuk menyesatkan masyarakat," cetusnya.
Hoaks sering dimanfaatkan sebagai alat dalam black campaign. Informasi palsu yang disebarkan melalui media sosial atau aplikasi pesan singkat instan, dapat memengaruhi opini publik secara signifikan. Terutama di kalangan masyarakat yang minim literasi digital.
"Penyebaran hoaks ini kerap didukung oleh buzzer. Yaitu individu atau kelompok yang secara terorganisir, mempromosikan narasi tertentu. Baik untuk mendukung kandidat tertentu, maupun menyerang lawan," jelasnya.
Dr Muhammad Husni Thamrin, menilai setidaknya ada beberapa penyebab dari maraknya fenomena black campaign, negative campaign, dan hoaks. Pertama, Polarisasi Politik. “Masyarakat yang terpecah dalam kelompok politik yang saling berseberangan, menciptakan ruang bagi black campaign dan negative campaign untuk berkembang,” katanya.
Kedua, Kemajuan Teknologi dan Media Sosial. “Media sosial mempercepat penyebaran informasi, termasuk informasi palsu atau hoaks karena kurangnya mekanisme verifikasi di tingkat pengguna,” sebutnya. Ketiga, Kurangnya Literasi Digital. “Di mana sebagian masyarakat mudah percaya pada suatu informasi tanpa memeriksa fakta, sehingga menjadi sasaran empuk hoaks,” imbuhnya.
BACA JUGA:Raja Dangdut Rhoma Irama Serukan Dukung Hj Lucianty-Syaparuddin di Pilkada Muba
BACA JUGA:Ingatkan Penggunaan Dana Hibah Pilkada
Keempat, Persaingan Politik yang Ketat. “Ketika persaingan politik semakin sengit, pihak-pihak tertentu mungkin mengambil langkah ekstrem, termasuk menggunakan kampanye hitam,” sampainya. "Kemudian, Kelemahan Penegakan Hukum. Nah, ketidakmampuan atau lambannya penegakan hukum terhadap pelaku kampanye hitam dan penyebar hoaks, seringkali memperburuk situasi," tandasnya.
Terpisah, Penjabat (Pj) Gubernur Sumsel Elen Setiadi SH MSE, mengajak mengingatkan masyarakat bijak mencerna dalam menyikapi isu pilkada serentak 2024. “Sehingga tidak termakan berita hoks,” katanya, Kamis (14/11).
Apabila masyarakat mendapatkan berita hoaks, dia meminta tidak cepat meneruskan informasi yang didapat. Tanpa melakukan kroscek terlebih dahulu akan kebenarannya. “Proses verifikasi informasi ini dibutuhkan, agar pilkada berlangsung aman dan damai,” imbuh Elen. “Masyarakat harus bijak untuk mencegah hoaks. Jangan teruskan atau kirim kepada orang lain, jika belum dapat dipastikan keabsahannya,” pesannya
Elen juga meminta seluruh pihak untuk mengantipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Karena Sumsel dipetakan sebagai salah satu daerah yang diindikasikan rawan. “Namun dengan koordinasi bupati/wali kota, semua kerawanan itu bisa dikendalikan dengan aman,” ulasnya.
BACA JUGA:Pilkada Muratara 2024 Pengamanan Ditingkatkan dengan Personel Gabungan