Fenomena ini menjadi keprihatinan, terutama bagi para penyelenggara negara yang seharusnya memberi teladan moral, namun justru memperlihatkan perilaku yang tidak etis.
Fenomena keruntuhan etika di kalangan penyelenggara negara mengundang berbagai masalah serius.
Praktik-praktik seperti korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan terhadap perempuan, dan diskriminasi menjadi isu yang terus berkembang.
Selain itu, munculnya politisasi agama dan politik identitas semakin memperburuk situasi moralitas publik. Hal ini berkontribusi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Halili Hasan, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, menambahkan bahwa masalah etika ini tidak hanya berasal dari elite negara, namun juga mencerminkan kondisi masyarakat.
"Jika elite politik adalah representasi masyarakat, maka yang perlu diperbaiki adalah masyarakat itu sendiri," ujarnya.
Salah satu akar masalah etika di masyarakat adalah pola asuh yang cenderung memberi kebebasan berlebih pada anak, tanpa menanamkan nilai tanggung jawab.
Menurut Tamrin Amal Tomagola, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, pola asuh yang kurang tegas berpotensi menghasilkan generasi yang egois dan kurang disiplin.
"Tanggung jawab adalah inti dari karakter mulia. Tanpa karakter ini, korupsi dan perilaku buruk lainnya menjadi hal yang mungkin terjadi," ungkapnya.
Masalah ini diperburuk dengan adanya budaya "shame culture" dan sistem kekerabatan yang terlalu mengutamakan kepatuhan buta.
Hal ini berlawanan dengan budaya "guilt culture" yang menanamkan nilai-nilai tanggung jawab sejak usia dini, seperti yang diterapkan di masyarakat Barat.
Digitalisasi juga memberi dampak pada perkembangan etika, terutama di kalangan netizen yang kerap menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan informasi yang tidak terverifikasi. Hal ini semakin mempersulit terciptanya masyarakat yang beretika.
BACA JUGA:Gandeng Pemkab Klaten, BPIP Perkuat Pembinaan Ideologi Pancasila
BACA JUGA:Disambut Kepala BPIP, Iringan Duplikat Bendera Pusaka dan Teks Proklamasi di Kaltim
Meski demikian, contoh positif seperti sikap toleran yang ditunjukkan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, yang mencium kepala Paus Fransiskus, masih ada sebagai bentuk perwujudan agama yang membawa perdamaian.
Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora BRIN, menyebutkan bahwa ada paradoks dalam hubungan antara negara beragama dan kesejahteraan.