OKU, SUMATERAEKSPRES.ID - Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) memiliki beragam suku. Salah satunya suku yang berdomisili di Bumi Sebimbing Sekundang ini yaitu suku Jawa yang terkenal dengan kesenian kuda lumping, atau jaran kepang. Kesenian dan budaya ini masih tumbuh dan berkembang hingga kini.
Salah satunya Paguyuban Kesenian Trisno Budoyo yang berlokasi di Kelurahan Kemelak Bindung Langit, Kecamatan Baturaja Timur. Komunitas ini awalnya didirikan sekitar tahun 1990-an. “Mbah Poimin dan Mbah Sis pendirinya,” kata Pengasuh Paguyuban kesenian Trisno Budoyo, Cecep Jaya.
Paguyuban tersebut, menurutnya, milik bersama. Cecep sendiri keturunan Suku Komering dan mengaku senang dengan kesenian tersebut.Kata Cecep, jumlah anggota sekitar 40 orang. Ada penari 25 orang, kru plus pawang 15 orang. Kalau anggota komunitas menurutnya sudah mengalami pergantian. Saat ini banyak generasi muda yang menjadi anggota. “Ada anggota dari keturunan, dan yang masuk ingin belajar,” ujarnya.
Dijelaskan, Paguyuban Trisno Budoyo sendiri sering tampil, seperti di acara hajatan khitanan, 17 Agustus dan pernikahan. Tampil di sekitar Kabupaten OKU sampai OKU Timur seperti Belitang, Martapura. Untuk melestarikan budaya ini ia berharap ada perhatian dan bantuan pemerintah. Apakah pakaian seragam mereka atau alat termasuk kuda penari.
BACA JUGA:Kuda Lumping: Warisan Budaya yang Tetap Hidup di Tengah Zaman Modern dan Sarat Makna
Kuda lumping merupakan kesenian rakyat atau tarian penunggang kuda (jaran) dengan kuda mainan yang terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa lantas dijepit di antara dua kaki penarinya. Kuda-kudaan tersebut ditambahkan asesori serta pewarnaan sehingga bentuknya menyerupai kuda sungguhan. Iringan musiknya sederhana, didominasi kenong dan terompet.
Pada mulanya Jaran Kepang bukanlah sebuah seni pertunjukan, bukan pula dinamakan kesenian karena memang zaman dulu belum dikenal istilah kesenian.
Konon, jaran Kepang adalah bagian dari ritual menolak bala, mengatasi berbagai musibah, meminta kesuburan pada lahan pertanian, mengharap keberhasilan panen, dan juga supaya masyarakat aman dan tenteram.
Pada zaman primitif terdapat kepercayaan bahwa kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam dan sebagainya terjadi karena kekuatan roh nenek moyang. Konon Jaran Kepang sebagai tari kerakyatan kuno embrionya sudah ada pada abad ke-12, dan mulai kental pada abad ke-13 dan ke-14.
Pada masa kolonial telah ada catatan soal itu. Thomas Starmford Raffles dalam buku History of Java (1817) membicarakan sebuah pertunjukan di Jawa yang menggunakan imitasi kuda. Cerita lisan tersebut adalah anggapan umum bahwa seni Jaranan merupakan visualisasi kisah-kasih Dewi Sanggalangit ketika diperintahkan menikah oleh ayahnya, Prabu Airlangga.
BACA JUGA:Lestarikan Seni Budaya Kuda Lumping
BACA JUGA:Kenang Rupiah Bergambar Rumah Limas, Hargai Sejarah dan Budaya Sumsel
Sanggalangit hanya bersedia menikah kalau calon suaminya mampu menciptakan kesenian yang belum pernah ada di tanah Jawa. Ternyata yang memenangkannya Prabu Klanasewandono. Untuk mengenang sayembara yang diadakan Dewi Sanggalangit dan pernikahannya dengan Klana Sewandana atau Pujangga Anom inilah masyarakat Kediri membuat kesenian jaranan yang disebut Jaranan Kediren. Sedangkan di Ponorogo muncul Reyog yang di dalamnya terdapat Jaran Kepang yang disebut Jathilan.