SUMATERAEKSPRES.ID - Tren perkawinan yang menurun dalam beberapa tahun terakhir tidak menutup fakta bahwa masih adanya fenomena perkawinan anak yang terjadi di seluruh dunia. UNICEF mengungkapkan bahwa meski kasus perkawinan anak terus menurun dalam beberapa dekade, perkawinan anak masih terjadi dengan perbandingan satu dari lima anak perempuan menikah pada masa kanak-kanak di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, prevalensi perkawinan anak Tahun 2023 masih berada di angka 6,92 persen yang artinya secara absolute masih terdapat ratusan ribu anak yang menikah di bawah usia 18 tahun. Bagian yang mengejutkan adalah pada tahun 2023, Sumatera Selatan memiliki prevalensi perkawinan anak tertinggi di Pulau Sumatera dan berada di atas angka nasional yaitu 11,41 persen.
Angka ini tentunya masih jauh dari target RPJMN Tahun 2024 dan tidak sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yaitu penghapusan semua praktik berbahaya termasuk perkawinan anak pada tahun 2030.
Undang-undang Perkawinan
Dari segi hukum, Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan batas minimal usia untuk melangsungkan perkawinan di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Namun, pemberian dispensasi untuk menikahkan anak dibawah umur 19 tahun masih dapat dilakukan dengan alas an mendesak yang diajukan oleh orang tua/wali anak. Hal ini menunjukkan masih adanya celah bagi praktik perkawinan anak di bawah umur untuk dilakukan dan dianggap sah di mata hukum.
BACA JUGA:Inovasi Jempol Kawan: Mempermudah Administrasi Perkawinan di Palembang
BACA JUGA:Kemenag dan Lakpesdam PBNU Kerja Sama Tekan Perkawinan Anak Melalui Program Inklusi
Permasalahan Kompleks Di balik Perkawinan Anak
Perkawinan anak sering kali dianggap menjadi jalan pintas dalam menghadapi berbagai permasalahan. Tekanan ekonomi dan sosial kerap kali dijadikan alasan yang mendorong perkawinan anak terpaksa dilakukan. Padahal, perkawinan merupakan ikatan yang kompleks melibatkan lahir dan batin seseorang dan membutuhkan kematangan dari kedua belah pihak untuk mencapai tujuan sebagai suatu keluarga.
Perkawinan yang dilakukan terlalu dini, justru mengakhiri masa tumbuhkembanganak, membenturkan anak dengan berbagai permasalahan yang lebih besar dan merampas hak-hak anak. Sebagai contoh dalam kasus yang menggemparkan pada tahun 2020 silam, dimana seorang ibu muda yang menikah di usia 17 tahun diduga menjadi penyebab kematian seorang anaknya dan melukai seorang anak lainnya. Polisi mengungkapkan kasus ini dikarenakan adanya gangguan kejiwaan yang dialami oleh sang ibu setelah melahirkan yang dapat disebabkan oleh kelelahan, perubahan hormon, jarak antar anak yang terlalu dekat serta kurangnya dukungan dari suami dan orang terdekat.
Kasus ini menjadi salah satu contoh kecil yang menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi anak-anak dalam suatu perkawinan. Ketidaksiapan fisik maupun psikologi sanak hanya akan membuat gelembung masalah yang lebih besar.
BACA JUGA:Simbolisme Bunga Melati dalam Tradisi Perkawinan Palembang, Ini Makna dan Peran Pentingnya!
BACA JUGA:Hukum dan Penjelasan Murtad karena Perkawinan dalam Islam
Perkawinan Anak dan Dampaknya Pada Pendidikan
Perkawinan anak merupakan pelanggaran dasar terhadap hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak. Mulai dari hak atas pendidikan, dimana anak berhak untuk memperoleh pendidikan, bermain dan mengeksplorasi berbagai potensi dirinya. Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018 menunjukkan rata-rata lama sekolah laki-laki dan perempuan usia 20-24 tahun dengan usia perkawinan pertama dibawah 18 tahun cenderung lebih rendah dibandingkan mereka yang melangsungkan perkawinan di usia 18 tahun ke atas. Tak hanya itu, data juga menunjukkan bahwa di antara laki-laki dan perempuan usia 20-24 tahun yang melangsungkan perkawinan di usia anak memiliki tingkat pencapaian pendidikan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang melangsungkan perkawinan di atas 18 tahun.