"Biasanya ukuran yang agak kecil dijual Rp50 ribu. Sedangkan ukuran besar Rp200 ribu per pieces," kata Yuli.
Yuli mendapatkan keterampilan merajut ini dari pelatihan yang diadakan ibu-ibu di komunitas tersebut.
Pelatihan ini menjadi salah satu cara menjaga kelestarian seni merajut dan meningkatkan keterampilan dan kemandirian ekonomi para anggotanya.
"Saya belajar dari ibu-ibu di sini, dan sekarang saya bisa membuat tas sendiri. Ini sangat membantu, terutama di masa-masa sulit seperti sekarang," tambah Yuli.
Kampung Rajut Ariko bukan hanya tempat berkumpulnya para perajut, juga simbol semangat gotong-royong dan kreativitas yang tumbuh subur di tengah masyarakat.
Mereka adalah bukti bahwa dengan tekad dan kerja keras, setiap benang yang dirajut bisa menjadi bagian dari karya besar yang mengangkat kesejahteraan bersama.
"Kami berharap ada bantuan pemerintah atau pihak swasta dalam hal pemasaran dan pengadaan bahan baku," ujar Yusuf menutup wawancara.
Ketua Dewan Juri, RM Ali Hanafiah menjelaskan Kampung Rajut Ariko ini tempatnya sangat strategis.
BACA JUGA:Asyiknya Eco Edu Wisata di SAPA
BACA JUGA:Ciptakan Agrowisata Perikanan Terpadu
Dia berharap kampung ini menjadi salah satu destinasi wisata yang ada di pojok kota Palembang.
Sembari membawakan pantunnya, Mang Amin -begitu sapaannya- berharap masyarakat terus membudayakan keterampilan tenun. Sehingga ke depan kampung ini dikenal masyarakat banyak di Kota Palembang. (iol/lia)