SUMATERAEKSPRES.ID - Apakah manusia adalah sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia adalah sosok yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan dirinya sendiri?
Ini adalah kajian yang menghabiskan banyak lembaran kajian psikologi, ilmu akhlak dan sosiologi. Kebanyakan pakar ilmu pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan mementingkan dirinya sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya sendiri.
Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk egoisme yang dibungkus dengan topeng.
Orang yang mengorbankan dirinya dalam medan perjuangan untuk membela aqidahnya atau mempertahankan negaranya, ia melakukan hal itu untuk mendapatkan pahala Allah atau pujian manusia, atau juga kehormatan negeri yang ia tempati sehingga ia dapat mengambil manfaat dari kehormatan negeri tersebut.
Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan hal itu pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasamanya dengan mereka itu ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.
BACA JUGA:Fajar Menilai Ada Kepentingan Pilkada, 14 DPC PAN Ajukan Mosi tak Percaya
Jika Anda tidak membatasi kebebasan Anda saat berkendaraan di jalan raya dengan rambu-rambu jalan, niscaya Anda tidak akan dapat berkendaraan di jalan dengan aman, baik bagi jiwa Anda maupun bagi tubuh Anda. Jika Anda tidak membatasi perilaku Anda dalam bermu`amalah, dan menahan tangan Anda dari harta manusia, nisacya Anda tidak akan dapat menjamin keuntungan dan keamanan atas harta dan kekayaan Anda.
Oleh karena itu, semangat undang-undang adalah dari satu segi untuk menjamin hak individu, dan dari segi lain untuk membatasi kebebasannya. Tunduk kepada undang-undang ini adalah suatu bentuk pendahuluan kepentingan orang lain dan pengorbanan. Dalam pandangan syari`ah, ia mungkin tidak mendapatkan pahala, dan dalam pandangan ahli etika dan moral ia barangkali tidak layak mendapatkan pujian, namun demikian hal itu adalah jaminan bagi keberaturan hidup dalam masyarakat yang mulia dan bahagia.
Sedangkan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri Anda yang lebih dari itu, inilah yang dipuji oleh syari`ah dan oleh prinsip-prinsip akhlak. Ia adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain yang berdasarkan kesadaran pribadi, bukan karena paksaan undang-undang. Dan tidak didorong oleh kepentingan duniawi atau kenikmatan yang instan. Malah dalam tindakannya itu ia memilih untuk tidak mendapatkan daripada mendapatkan kesenangan pribadi, memilih payah daripada santai, memilih lapar daripada kenyang, dan memilih mati daripada hidup.
Keindahan pengorbanannya itu tidak dirusak oleh keinginan untuk mendapatkan pahala atau pujian, karena pahala dan pujian itu adalah suatu perkara maknawi yang diharapkan dari alam ghaib. Siapa yang memberikan sesuatu manfaat material kepada manusia dengan harapan mendapatkan balasan maknawi, maka ia berarti telah memberikan suatu bukti bagi jiwa yang lebih banyak memberi dibandingkan mengambil. Sungguh, hal ini adalah kemuliaan dan ketinggian yang paling utama dan petunjuk kebaikan dan keutamaan yang paling kuat.
BACA JUGA:KAI Optimalisasi dan Jaga Aset, Demi Kepentingan Negara
Kita berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang dalam menikmati fasilitas listrik, mobil, kapal terbang dan radio terhadap para ilmuan jenius yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam laboratorium dan rumah mereka dan terus meneliti siang malam hingga mereka dapat memberikan kepada manusia hasil dari kerja keras dan penderitaan yang mereka tanggung. Berupa kenikmatan, pengetahuan, dan kesehatan yang dinikmati oleh milyaran manusia di Timur dan Barat.
Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan itu: ”Aku bergadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.