Kita berhutang budi dalam memanfaatkan tanah negeri kita, hasilnya, dan lembaga-lembaga sosialnya, terhadap orang-orang tua kita yang telah mengolahnya dengan usaha dan jerih payah mereka, serta mereka tebus dengan darah dan arwah mereka, sehingga negeri ini sampai kepada kita dalam keadaan mulia dan bermartabat.
BACA JUGA:Setuju Revitalisasi Asal Tak Merugikan, Pemkot Ngaku Tetap Kedepankan Kepentingan Umum
BACA JUGA:Kepentingan Masyarakat Jangan Ditunda
Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama kita yang kita banggakan ini, dan yang kita terus bicarakan tentang ni`mat Allah SWT kepada kita atas hidayah dan ajaran etika-Nya yang dianugerahkan kepada kita melalui agama ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam membawa risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan darah dan arwah mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini. Para syuhada Masihiah di tiga abad pertama dari kelahiran Al Masih a.s adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh penganut Masihi yang merasakan kelezatan tunduk kepada Al Masih dan ajaran-ajarannya. Dan para syuhada Islam pada masa Rasul dan pada masa khalifah-khalifah setelah beliau, adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh umat manusia atas ni`mat Islam dan peradabannya yang abadi.
Demikianlah, kita sebagai generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangakaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generas-generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum kita. Apakah generasi kita saat ini menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita berakhlak seperti ini, yang telah diperintahkan oleh syari`at Allah dan aturan-aturan akhlak?
Sebenarnya, kehidupan yang kita jalani saat ini hampir telah menghapus sisa-sisa akhlak manusiawi yang indah ini. Kemanapun Anda berjalan dan di manapun Anda perhatikan sisii-sisi kehidupan sosial kita saat ini, niscaya Anda akan menemukan egoisme yang telah mengalahkan segala hal. Anda dapati egoisme seorang Bapak yang menguasainya dalam hubungannya dengan anak-anaknya, egoisme suami/isteri yang menguasainya dalam hubungannya dengan isteri/suaminya, egoisme pemimpin yang menguasainya dalam hubungannya dengan masyarakat yang ia pimpin, egoisme orang-orang kaya dan orang berpunya yang amat tampak dalam sikap mereka terhadap orang-orang miskin, para pekerja dan para petani.
BACA JUGA:Prabowo Jelang Debat: Pertahanan Jangan Dipolitisasi untuk Kepentingan Jangka Pendek
BACA JUGA:Pengda MBI Sumsel Segera Rancang Program untuk Kepentingan Umat
Egoisme telah menguasai seluruh elemen bangsa. Kalangan pedagang hanya mementingkan keuntungan perdagangannya, kalangan petani hanya mementingkan pertaniannya, dan kalangan pegawai pemerintah hanya mementingkan pekerjaannya; egoisme inilah yang telah mencabut rasa percaya satu sama lain di antara masyarakat, yang memutuskan ikatan kasih sayang antar anggota keluarga, dan melemahkan ikatan kemanusiaan antar manusia. Sehingga seorang tetangga menjauh dengan tetangganya, dan seorang sahabat menghindar dari sahabatnnya, pada saat kita sedang amat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan problem kehidupan. Namun demikian, dalam masyarakat kita masih ada sisa-sisa sipat mementingkan orang lain yang memberikan harapan akan lenyapnya egoisme ini dalam masyarakat kita.
Yaitu mereka yang telah menyerahkan jiwa mereka untuk menjadi syahid dalam membebaskan Palestina, mereka yang telah mengorbankan arwah mereka dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita, mereka yang telah membantu lembaga-lembaga sosial dengan dana dan usaha mereka, dam mereka yang menyediakan diri mereka sebagai pembawa obor reformasi masyarakat saat masyarakat berada dalam kealpaan mereka. Mereka itu adalah pionir-pionir pembawa semangat pengorbanan dan sipat mementingkan orang lain. Kita berharap semoga bilangan mereka itu terus bertambah secara kualitas dan kuantitas dengan berjalannya waktu.
Saat ini kita berada di tahun baru Islam 1446 H, bulan dan tahun yang mengajak kepada kebaikan dan mendorong kepada sikap mementingkan orang lain. Oleh karena itu, marilah kita memperhatikan prinsip-prinsip sikap ‘iitsar’ mementingkan orang lain dalam aqidah kita, dan pengaruh hal itu dalam sejarah kita. Dari situ kita dalam dapat menyingkap semerbak kemanusiaan yang mulia, yang pada saat ini telah ditutupi oleh ambisi dan hawa nafsu.
Saat Rasulullah Saw dan para sahabat beliau melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mempersaudarakan antara kaum mu`minin dari kalangan Muhajirin dengan kaum mu`minin dari kalangan Anshar. Yaitu dengan menjadikan bagi setiap individu dari Anshar seorang saudara dari kalangan Muhajir. Maka saudara dari kalangan Anshar itu membawa saudaranya yang berasal dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, untuk kemudian membagi dua semua yang ia miliki dengan saudaranya dari muhajirin itu; ia membagi dua hartanya, pakaiannya, makanannya, kendaraannya, dan memperlakukannya di hadapan dirinya dan keluarganya sebagai seorang kekasih terhadap kekasihnya. Ia tidak segan-segan membantunya, dan memberikan nasihat serta uluran tangan. Sehingga kalangan muhajirin melupakannya penderitaan mereka yang telah meninggalkan kampung halamannya, keluarganya dan kekayaannya. Sehingga Al Quran mencatat fenomena iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang terpuji ini untuk dijadikan pelajaran abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Bacalah firman Allah SWT berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)
Allah berfirman tentang orang-orang yang mengorbankan arwah mereka dalam membela kebenaran dan kebaikan, sebagai berikut:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Ali Imraan: 169.)
Dan berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang melakukan kebaikan tidak karena tujuan mendapatkan pujian dan balasan dari orang lain, sebagai berikut: