SUMATERAEKSPRES.ID - Dalam beberapa decade terakhir, istilah Äsian values telah menjadi topik yang banyak diperbincangkan, terutama dalam konteks politik dan budaya di Asia.
Nilai-nilai ini, yang mencakup ketaatan pada otoritas, keharmonisan sosial, dan pentingnya keluarga dan komunitas, sering kali dipromosikan sebagai alternative bagi nilai-nilai demokrasi liberal Barat.
BACA JUGA:Media Berperan Vital dalam Menyampaikan Informasi Pilkada ke Masyarakat Banyuasin
Di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan, nilai-nilai ini juga tercermin dalam pilkada yang akan datang, memberikan perspektif unik terhadap penguatan demokrasi lokal.
Pengertian dan Asal-UsulAsian Values
Asian values pertama kali menjadi popular di kalangan pemimpin politik seperti mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang berargumen bahwa nilai-nilai ini lebih sesuai dengan masyarakat Asia dari pada nilai-nilai Barat yang menekankan individualisme dan hak asasi manusia (Huntington, 1996).
Pendukung Asian values berpendapat bahwa penekanan pada keharmonisan sosial dan otoritas dapat membantu menjaga stabilitas dan kemajuan ekonomi.
Relevansi Asian Values dalam Pilkada
Pilkada di Indonesia -termasuk di Sumatera Selatan- sering kali menjadi cermin bagi penerapan nilai-nilai Asia. Dalam kampanye politik, banyak kandidat yang mengedepankan nilai-nilai seperti gotong royong, kesetiaan kepada tradisi, dan penghormatan terhadap otoritas sebagai bagian dari platform mereka.
Hal ini terlihat dalam berbagai kampanye yang menekankan pembangunan komunitas dan harmoni sosial.
Di Sumatera Selatan, kandidat-kandidat yang maju dalam pilkada tak jarang menggunakan pendekatan budaya local untuk mendapatkan dukungan masyarakat.
Misalnya, beberapa kandidat menggunakan adat istiadat dan tradisi local sebagai bagian dari kampanye mereka, menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan komunitas.
Ini mencerminkan bagaimana Asian values masih sangat relevan dan diterima dalam konteks politik lokal.
Namun, penggunaan nilai-nilai Asia dalam pilkada juga menimbulkan pertanyaan kritis. Apakah penekanan pada otoritas dan harmoni sosial menghambat partisipasi politik dari kelompok minoritas atau masyarakat yang memiliki pandangan berbeda? Ronald Inglehart dan Christian Welzen dalam buku mereka Modernization, Cultural Change, and Democracy (2005) menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya yang tradisional dapat berpotensi membatasi perubahan sosial yang lebih inklusif dan demokratis.