“Hidup sebagai petani kopi itu seperti kopi itu sendiri, kadang pahit kadang manis, yang penting kita selalu menikmatinya,” ujarnya sambil tertawa.
BACA JUGA:Rahasia Harga Tinggi Kopi Luwak di Lubuklinggau: Tantangan Minim Pembeli, Kok Bisa ya?
Hari-harinya dipenuhi dengan kerja keras, merawat kopi seolah merawat anak dan istrinya. Gulzen, bersama istrinya Yesti, dan dua putri mereka, Varin dan Ara, menjalani kehidupan dengan penuh dedikasi.
Saat masa panen tiba, Gulzen sering kali tak tidur demi memastikan kopi yang dipanen dan diolah sempurna, serta menjaga kebunnya dari pencurian.
Namun, perjalanan hidupnya tidak selalu mulus. Pada tahun 2012-2013, pohon-pohon kopi di kebunnya sudah lapuk dan tidak lagi produktif, memaksa Gulzen untuk menanam bibit baru yang membutuhkan waktu 2 hingga 4 tahun untuk kembali berbuah.
“Yang paling parah adalah saat Gunung Dempo erupsi, abu panasnya membakar daun kopi. Ini terjadi tiga kali, pada 2009, 2017, dan 2023,” kenangnya.
Meski begitu, tak ada kata menyerah dalam kamus Gulzen. Baginya, kopi adalah bagian dari hidupnya, dan setiap tantangan adalah ujian yang harus dihadapi dengan semangat.
Hingga kini, meskipun berbagai rintangan datang silih berganti, Gulzen tetap optimis dan bangga bisa menghidupi keluarganya dari biji kopi yang ditanam dengan tangan dan keringatnya sendiri.
Setiap pagi, saat menikmati secangkir kopi hasil panennya, ia selalu bersyukur atas perjalanan hidupnya sebagai petani kopi.
Kisah Gulzen menggambarkan bahwa menjadi petani kopi bukanlah pekerjaan yang mudah, namun dengan kecintaan dan dedikasi, profesi ini bisa mengubah nasib dan kehidupan seseorang.