Namun, dia segera menyadari bahwa kebugarannya tidak cukup untuk menghadapi tantangan Everest.
"Saya harus mengambil lima langkah dan kemudian berhenti selama 30 detik hingga satu menit untuk mengatur napas," kenangnya.
Para pendaki harus melakukan rotasi aklimatisasi untuk menyesuaikan paru-paru mereka dengan tingkat oksigen yang menipis.
Proses ini melibatkan pendakian ke salah satu dari empat kamp di Everest, menghabiskan beberapa hari di sana, lalu kembali turun.
Rutinitas ini diulang setidaknya dua kali untuk meningkatkan peluang bertahan hidup dan mencapai puncak.
BACA JUGA:ODGJ Resahkan Warga, Dinsos Empat Lawang Bertindak Cepat, Ini yang Mereka Lakukan!
BACA JUGA:Akuarium: Sentuhan Indah Ekosistem Mini yang Memperindah dan Menenangkan di Rumah Anda!
"Sulit untuk bertahan hidup di sana," kata Weasel, menggambarkan zona kematian di ketinggian 7.924 meter di mana oksigen sangat tipis, suhu di bawah nol, dan angin kencang.
Jenazah pendaki yang tewas sering kali tidak membusuk karena suhu dingin yang ekstrem.
Weasel sendiri mengalami halusinasi akibat High-Altitude Cerebral Edema (HACE), salah satu penyakit paling umum di ketinggian ekstrem. "Otakmu kekurangan oksigen," katanya, mengenang halusinasi visual dan pendengaran yang dialaminya.
Meskipun risikonya tinggi, banyak pendaki seperti Weasel merasa pengalaman ini sebanding dengan keindahan yang mereka temukan.
"Menyaksikan matahari terbit dari ketinggian 8.839 meter adalah salah satu hal terindah yang pernah saya lihat," kata Weasel.
Weasel mendaki Everest dengan membawa bulu elang sebagai simbol warisan penduduk asli Amerika dan semangat yang tak tergoyahkan.
"Mengetahui bagaimana rasanya di atas sana, satu-satunya pembenaran untuk mempertaruhkan nyawa Anda adalah jika Anda mendaki untuk alasan yang jauh lebih besar dari diri Anda," katanya.