Dia mencontohkan ketika mahasiswa dikenai UKT Rp6 juta/semester, bukan berarti cost mahasiswa tersebut hanya Rp1 juta per bulan. "Kampus harus memahami juga, ada biaya kos, makan sehari-hari, buku, transportasi, dan lainnya," jelas dia. Jadi dalam menetapkan leveling UKT, kampus harus mempertimbangkan beban living cost mahasiswa. Khususnya mahasiswa yang kuliah di luar domisili. Leveling UKT tidak hanya soal ekonomi keluarga.
Jejen menyampaikan, UKT sekarang memang cukup tinggi. Dia mengatakan untuk mahasiswa yang orang tuanya PNS dengan penghasilan rata-rata, alias bukan PNS "sultan", cukup kesulitan jika dibebankan UKT kelompok tengah sampai atas. Apalagi jika yang bekerja hanya ibu atau ayahnya saja alias single income.
Terpisah, Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menilai, pembatalan kenaikan UKT di tahun ini tidak permanen. Tahun depan, masih dimungkinkan kasus yang sama bakal terjadi lagi. Apalagi, jika salah kelolah dana pendidikan yang terjadi saat ini tak juga dibenahi. ”Ini bukan distop, ini hanya ditunda. Jadi ya seperti diprank,” kata dia.
Pemerintah saat ini pun seolah cuci tangan karena tak ada kebijakan jelas mengenai UKT ini. Sehingga nantinya, urusan UKT ini akan diserahkan ke presiden selanjutnya. Menurutnya, persoalan UKT hingga transformasi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) menunjukkan adanya salah kelola secara sistemik. Hal ini membuat pendidikan tinggi akhirnya dikomersialisasi.
BACA JUGA:Inilah Daftar Lengkap 75 PTN yang Batalkan Kenaikan Dana UKT dan Iuran Pengembangan Institusi
BACA JUGA:Kemendikbud Terbitkan Surat Pembatalan Kenaikan UKT dan IPI di 75 PTN, Ini 4 Poin Pentingnya
”Cara mengelolanya sudah bukan sebagai institusi pendidikan yang seharusnya nirlaba. Tapi untuk mencari uang. Wajar kalau satuan pendidikan jadi market place, jualan buku, seragam, wisuda, dan lainnya,” tuturnya.
Satuan pendidikan memang membutuhkan dana untuk bisa berkembang. Namun, tidak berarti mendorong komersialisasi terhadap mahasiswanya. Biaya pendidikan yang semakin tinggi ini pun akhirnya menimbulkan tekanan ekonomi yang tidak mudah bagi orang tua maupun mahasiswa. Mereka yang paling terdampak justru bukan dari keluarga dengan ekonomi rendah, tapi keluarga dengan ekonomi menengah.
Seorang mahasiswa di Palembang, M, berharap nominal UKT bisa ada penyesuaian. “Bukan naik, tapi diturunkan. Sebab, saat ini banyak dari kami para mahasiswa yang mengeluh mahalnya UKT. Kuliah seperti bisnis,” ucapnya.
Dia secara pribadi mendukung jika memang Kementerian Agama melakukan penyesuaian tarif UKT. “Kembalikan kampus sebagai lembaga pendidikan, bukan lembaga tempat mencari uang dari mahasiswa,” pungkas dia.(*/mh/)