PALEMBANG , SUMATERAEKSPRES.ID- Selama beberapa tahun, pasar mobil di Indonesia mentok di angka sekitar satu juta unit per tahun. Sedangkan di saat yang sama, pemain baru justru berdata-ngan. Padahal rasio kepemilikan mobil masih sekitar 99 mobil per 1.000 penduduk.
Penjualan mobil tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2013 yang mencapai 1.229.811 unit. Angkanya terus turun di tahun berikutnya sekitar satu jutaan unit. “Waktu itu kenapa kita tumbuh tinggi? Karena harga komoditas sedang bagus, gross domestic product (GDP) kita waktu itu naik. Kemudian juga pemerintah memberikan subsidi bahan bakar, terus LCGC. Jadi memang ada beberapa faktor, kemudian juga ada model Low MPV. Terus subsidi bahan bakar, kemudian PPN belum setinggi saat ini,” kata Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam.
Perlu insentif menumbuhkan pertumbuhan pasar, berkaca dari pemerintah yang melakukan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) saat merebaknya pandemi global Covid-19. Kala itu penjualan sedang anjlok drastis, namun permintaan kembali tinggi setelah pemerintah memberikan pembebasan PPnBM.
Insentif diskon PPnBM ditanggung pemerintah (DTP) untuk mobil terbukti mampu memberikan stimulus bagi peningkatan industri-industri pendukungnya. Ini terutama yang bergerak pada industri komponen otomotif. Melalui kebijakan PPnBM DPT, beberapa subsektor manufaktur mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional 2021 yang sebesar 3,69 persen.
BACA JUGA:KemenKopUKM Tinjau Regulasi Terkait UKM Industri Knalpot
BACA JUGA:1.300 Orang Jajal Jimny Adventure Experience, Kepincut Pesona Jimny 5-door
“Kita bisa lihat begitu relaksasi (PPnBM) langsung naik. Tapi secara politik memang tak popular karena seolah-olah memberi insentif untuk orang kaya. Itu yang berat bagi pemerintah. Padahal secara industri menguntungkan, karena industri bisa tumbuh, pajak yang dibayarkan tak berkurang,” kata Bob.
Bob mengaku sudah berbicara dengan pemerintah terkait insentif pajak untuk menumbuhkan pasar otomotif yang stagnan di level satu jutaan. Masalahnya angka itu tak beranjak naik sejak 10 tahun terakhir. “Waktu pandemi kita sudah sampaikan, bukan hanya (insentif) pandemi, tapi untuk seterusnya. Kita sudah sampaikan, bahwa industri kita ini sekarang masuk ke ekonomi biaya tinggi, karena dipajakin terus, apalagi market-nya tidak growth. Ekonomi biaya tinggi bisa kita tekan, birokrasi lebih efisien, kita bisa mendatangkan investasi dan kita tumbuh di atas lima persen,” ujar dia.
Untuk menghindari jebakan satu juta unit, selain fokus bagaimana meningkatkan pasar domestik Indonesia, tak kalah pentingnya fokus pasar luar negeri. Thailand masih juara produksi mobilnya ketimbang Indonesia. “Pajak kita ketinggian, kalau mau beli mobil sekian persen isinya pajak,” kata Bob.
Dengan pasar yang bertumbuh diharapkan bisa menggoda investor dari berbagai merek otomotif. Memang untuk saat ini, Indonesia kebanjiran pemain dari Cina, yang juga merakit mobil di dalam negeri. Tapi bagaimana dengan penyerapan pasarnya? “Kita kan selalu ingin yang terbesar di Asia Tenggara, selalu kan. Jadi simple aja. Bandingkan dengan Thailand, juaranya di Asia Tenggara, bagaimana pajaknya. Jadi pajak mereka itu lebih rendah, jadi kurang dari separuh. Di sana tak ada pajak daerah. Kemudian kita kan baru naikan PPN,” kata Bob.
BACA JUGA:Cara Mudah Budidaya Kangkung Hidroponik Pakai Botol Bekas
BACA JUGA:8 Tips untuk Gigi yang Putih dan Bersinar
Terkait pajak yang tinggi, pengamat otomotif Yannes Pasaribu mengamini hal tersebut.Beberapa instrumen pajak yang dikenakan mulai dari biaya bea impor komponen, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), biaya tanda pendaftaran, biaya uji tipe, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan sebagainya.
“Harga akhir sebuah mobil di Indonesia relatif mahal sebenarnya, karena di samping pajak mobil, ada berbagai pungutan lain sejak mobil keluar dari pabrik hingga ke dealer. Hal ini yang membuat harga mobil tinggi,” cetusnya. (fad)